/1/
Kuanyam kotamu menjadi perih yang berhamburan dalam antrean panjang
orangorang bertubuh ringkih dan terbalik. Matahari tidak akan datang
untuk membedakan mana mata mana hati mereka, tapi tangan mereka menadah di
depan secangkir minyak tanah dan ceceran receh yang kau jahit pada setiap sudut dinding kantor pos. Maka bertahan hidup adalah menukar kupon. Lalu meneguk air mata yang diseduh anak cucu mereka seperti meneguk anggur merah dengan
kehangatan yang tidak pernah pudar.
/2/
Kuanyam kotamu dengan tangan yang berkabut peluh para buruh, dengan subsidi
yang terlampau asin, dengan lumpur yang tumbuh di seluruh tubuh petani, dengan semua rasa amis yang kau rampas dari para nelayan. Nelayan yang tak lagi mengenal ikan sebab perahu mereka tidak lagi dapat dijalankan, sedang anak mereka yang botak dan buncit berlari riang di tepi pantai mengejar solar yang terus terbang. Aih, cepat nian kalian terbang. Lalu gerimis pecah di lautan.
/3/
Kuanyam kotamu melalui cerita yang dinyanyikan anakanak jalanan serta kisah para
pemulung yang mengumpulkan pepuing kehidupan di sepanjang jalan dan perapatan.
Sesungguhnya dari serakan janjimulah mereka mengais sisa mimpi, lalu dari
gelas plastik bekas air minummu di setiap kampanye dulu, lalu dari remah katakatamu yang penuh harap dan semangat itu. Di pojokan stasiun para pengemis mengupas
kulit tubuh mereka, perlahanlahan, hingga anak mereka yang paling kecil itu terlelap
diam. Dipojokan terminal para supir angkot dan biskota sedang mencukur bulan,
mengadu pada bintang. Barangkali uang setoran jadi begitu menakutkan.
/4/
Kuanyam kotamu secara diamdiam, begitu perlahan, sebab kutakut kau akan terbangun
dan mendapati wajahmu berjatuhan di selokan atau lubang galian kabel pinggir jalan, lalu kotamu, kotamu yang megah ini menjadi murung sebab cemas yang kau bacakan di seluruh SPBU telah terlanjur disebarkan.
Institut Merdeka, 2008
RINDU YANG HENING
matahari baru saja padam, tapi bulan telah
datang dari celahcelah daun, dan taman ini selalu
melahirkan berjuta pertanyaan. kolam masih tenang. beberapa
bungkus plastik basah, bau comberan pada ikanikan usang
terlihat seperti mainan rusak. angin yang berhenti, cengkrikcengkrik
yang bisu, dan rumput mati yang bertelanjang kaki
oh, disini sudah tidak ada lagi bangku yang menyewakan
rindu
wajahmu pudar di pohonpohon asam
seperti sedap malam yang meleleh karena
kutukan. menyerap semua keabadian. ah,
tidak semua yang hidup itu abadi. tapi kau
tidak juga aku. kini seluruhnya hanya tinggal kabut
menari dalam kegelapan
di taman ini yang menyimpan
berjuta pertanyaan
aku pinjam lengkung airmatmu sebagai pijakan
hanya untuk melihat lebih tinggi. karena kutahu
tanganku tak dapat menggapai kenangan
tidak juga mataku dan wajahmu pudar di pohon
pohon asam membentuk selimut yang tak pernah
dingin oleh mimpi
lihatlah, sebab darah yang kau taburkan. batu dan ilalang
tak mau lagi tumbuh di tanah ini. lalu kemana semua warna
yang pernah kusimpan dalam bayangbayang bulan?