Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puisi-puisi Lian Kagura

Kompas.com - 16/02/2009, 21:14 WIB

BULAT BULAN DI DEKAT JENDELA

Dirimu yang mendekap sungai di tepi jendela seberang sana, adalah peri yang menjelma
Siluet bulan di setiap malam. Bulat matamu yang selalu kuingat, sebab ia hitam dan
Berkilat, serupa mata kucing di dalam gelap, serupa bintang yang menari di luas
Cakrawala hatiku. Dan setiap kutatap matamu lewat teleskop yang kupasang di
Loteng rumahku, aku menemukan ngarai yang sunyi, tanpa kupukupu, tanpa suara
Burung melagu.

Hanya puri tua dan sepagar kawat berduri.

Tak pernah lagi kulihat dirimu mengunyah randu. Sejak saat itu. Ketika senja murung
Meninggalkan rumahmu tergesa dan kau lemparkan semua kenangan rombeng padanya,
Aku lupa apakah senja sempat memungutnya atau tidak, tapi dibalik punggungnya
Yang berkabut tak kutemukan lagi gerimis yang deras merincikrincik. Tempat dirimu
Menulis puisi atau diary. Lalu kau bergegas menutup pintu. Sejak saat itu pula aku tahu,
Tidak akan kudapati lagi berbaitbait kakawin tentang rindu, tentang seorang perawan
Yang jatuh cinta pada batu.

Sudah pasti kini air matamu yang meranggas di dekat jendelaku, mengembunkan semua
Kaca milikku.

O, bulat bulan di dekat jendelamu membuatku ingin membangun sebuah kota di pipimu,
Kota yang paling indah. Dengan jembatan yang kusulam sendiri dari benang waktu.

Aku paham kenapa dirimu senantiasa menginginkan sebuah jembatan panjang menjulur
Di jendela kamarmu. Agar kau dapat berlari meninggalkan rahasia yang tumbuh sebagai
Lelaki di sepanjang dinding kamarmu. Lakilaki yang semuanya berwajah mirip senja,
Yang di keningnya ada tanda kesumba. Tapi aku telah melihatmu dan lelaki itu dari
Jendela kamarku. Dengan teleskop yang kupasang di loteng rumahku sambil menebak
Kirakah senyummu berguguran, memenuhi jalanan, menumbuh kembangkan segala
Impian. Maka saat itulah hijab antara aku dan dirimu dirobohkan. Tidak akan ada lagi
Keraguan, tidak akan muncul lagi ketakutan. Kau akan dapat melihatku dengan matamu
Yang berpuri, berkawat berduri. Akan kutanam bebunga di ngarai itu, supaya datang
Kupukupu dan bersenandung segala burung.

Dirimu yang memeluk sungai di tepi jendela seberang itu, yang kulihat dari jendela
Kamarku. Dengan teleskop yang kupasang di loteng rumahku, adalah dirimu yang kini
Menjadi berita di setiap media. Sebab, pada akhirnya, kau mampu membunuh semua
Senja, satu persatu, dengan pisau cukur yang kau selipkan di antara payudaramu.

Institut Merdeka, 2008
 
DUA PEREMPUAN

Matamu, Dinda, tak ubahnya bintang yang redup.
Berkilat di dalam gelap, tapi lemah dan kalah.

Tak seharusnya kau ranggas dalam gelisahmu. Sebab
malam ini adalah milikku. Sebab purnama dalam perutmu
harus kau keluarkan, jadikan ia cahaya, jadikan ia mengingat
kita. Dinda, sebab kau seorang perempuan.

Aku juga seorang perempuan, Dinda. Karenanya
aku ikut bela mati. Biarkan aku saja yang terbakar
mengantar suamiku ke suralaya, suamimu
    kanda Abimanyu
yang perkasa.

“Dinda, kau melakukan tugasmu sebagai perempuan
dengan melahirkan keturunan suami kita, aku pun
melakukan tugasku sebagai perempuan
dengan bela mati.”

    Gerimis ikut terbakar
kurusetra berpendar. Berjuta pasang mata
Dinda, matamu yang kutatap. Kutitip
seluruh cinta yang pernah kurajut dalam resah desah
napasmu. Pada basah panahpanah para ksatria dan
genderang perang esok pagi.

Dinda, laut air matamu tak kan sanggup memadamkan
api ini. Maka tutuplah hatimu. Lepaskan segala rindu
dan saksikanlah moksa diriku
    
kanda Abimanyu dalam dekapku
harum cempaka tubuhnya akan selalu ada
di darah perutmu.

Para dewa gegas menghampiriku
Kobar api menari di tubuhku,
tapi masih kutatap matamu, Dinda,
mata yang cemburu

Institut Merdeka, 2008
 
AKU MENGENALMU

: para TKW di dunia asing

aku mengenalmu
dari sepi dan bayangbayang waktu
dari ruang kosong tempat kunangkunang berbagi
kegelapan dengan nyala lampu di jemarimu
     yang keriting itu
lalu kau, lalu dia, lalu aku
menciut jadi bungabunga lumut
menempeli bebukit hari. sampai laut
     tak mau membiru
     ombaknya pudar ditelan buih
telah kukenal dirimu. dari kehidupan
yang dingin dan asin
   yang mengabut pada gerimis
       resah
kau yang di matamu hidup berjuta kupukupu usang
menari hingga ujung tanah airmu. kemudian disini
aku, dia, mungkin mereka melihatmu pada
 tetesan air bekas cucian jemuran itu

Kamar Merah, 2007
 
KUANYAM KOTAMU

/1/
Kuanyam kotamu menjadi perih yang berhamburan dalam antrean panjang
orangorang bertubuh ringkih dan terbalik. Matahari tidak akan datang
untuk membedakan mana mata mana hati mereka, tapi tangan mereka menadah di
depan secangkir minyak tanah dan ceceran receh yang kau jahit pada setiap sudut dinding kantor pos. Maka bertahan hidup adalah menukar kupon. Lalu meneguk air mata yang diseduh anak cucu mereka seperti meneguk anggur merah dengan
kehangatan yang tidak pernah pudar.

/2/
Kuanyam kotamu dengan tangan yang berkabut peluh para buruh, dengan subsidi
yang terlampau asin, dengan lumpur yang tumbuh di seluruh tubuh petani, dengan semua rasa amis yang kau rampas dari para nelayan. Nelayan yang tak lagi mengenal ikan sebab perahu mereka tidak lagi dapat dijalankan, sedang anak mereka yang botak dan buncit berlari riang di tepi pantai mengejar solar yang terus terbang. Aih, cepat nian kalian terbang. Lalu gerimis pecah di lautan.

/3/
Kuanyam kotamu melalui cerita yang dinyanyikan anakanak jalanan serta kisah para
pemulung yang mengumpulkan pepuing kehidupan di sepanjang jalan dan perapatan.
Sesungguhnya dari serakan janjimulah mereka mengais sisa mimpi, lalu dari
gelas plastik bekas air minummu di setiap kampanye dulu, lalu dari remah katakatamu yang penuh harap dan semangat itu. Di pojokan stasiun para pengemis mengupas
kulit tubuh mereka, perlahanlahan, hingga anak mereka yang paling kecil itu terlelap
diam. Dipojokan terminal para supir angkot dan biskota sedang mencukur bulan,
mengadu pada bintang. Barangkali uang setoran jadi begitu menakutkan.

/4/
Kuanyam kotamu secara diamdiam, begitu perlahan, sebab kutakut kau akan terbangun
dan mendapati wajahmu berjatuhan di selokan atau lubang galian kabel pinggir jalan, lalu kotamu, kotamu yang megah ini menjadi murung sebab cemas yang kau bacakan di seluruh SPBU telah terlanjur disebarkan.

Institut Merdeka,  2008

RINDU YANG HENING

matahari baru saja padam, tapi bulan telah
datang dari celahcelah daun, dan taman ini selalu
melahirkan berjuta pertanyaan. kolam masih tenang. beberapa
bungkus plastik basah, bau comberan pada ikanikan usang
terlihat seperti mainan rusak. angin yang berhenti, cengkrikcengkrik
yang bisu, dan rumput mati yang bertelanjang kaki
oh, disini sudah tidak ada lagi bangku yang menyewakan
       rindu

wajahmu pudar di pohonpohon asam
seperti sedap malam yang meleleh karena
kutukan. menyerap semua keabadian. ah,
tidak semua yang hidup itu abadi. tapi kau
tidak juga aku. kini seluruhnya hanya tinggal kabut
menari dalam kegelapan
   di taman ini yang menyimpan
berjuta pertanyaan

aku pinjam lengkung airmatmu sebagai pijakan
hanya untuk melihat lebih tinggi. karena kutahu
tanganku tak dapat menggapai kenangan
tidak juga mataku dan wajahmu pudar di pohon
pohon asam membentuk selimut yang tak pernah
dingin oleh mimpi

lihatlah, sebab darah yang kau taburkan. batu dan ilalang
tak mau lagi tumbuh di tanah ini. lalu kemana semua warna
yang pernah kusimpan dalam bayangbayang bulan?

ah, di tepi kerinduan ini semua keheningan menjadi dahaga

Taman Ganesha-Institut Merdeka,  2007-2008
 
PEREMPUAN PALEMBANG

: Fitri Dwi Juniarny

Aku mengenal sorot matanya, seperti aku
mengenal redup bulan di tepi sungai
wajahnya bersepuh lukisan Palembang

Potongan air mata menyulam jilbabnya
adalah arus menderas di ujungujungnya
batubatu berenang, sampai menepi
semua ikan dan bunyi bayangbayang sampan

Kemudian ia duduk di
sudut senja bercerita tentang kerinduan. Adakah
sinarnya membakar dan terus membakar. Risau.
Dimana ia memotong semua kenangan

Aku tersenyum. Kukatakan:
—lalu tidurlah sekarang karena nanti malam
    kita akan memburu bintangbintang

Kamar Merah, 2007

PEREMPUAN DAN ICE CREAM COKLAT

: Ananda Putri Bumi

Kamu suka rasa apa, coklat atau strawberry?
Katamu dari sunyi terakhir senja itu
Kemudian matahari tak lagi gerhana di mataku
Dan purnama tak juga rembulan di dadaku
      
Dari jarijemarimu berlelehan air gula
Rasanya manis seperti malam
yang pernah kubuat dari lipatan senyummu
                                            sepanjang jalan itu
Ada suara detak jantung yang berjatuhan
dari tepi kerudung putihmu. Desir angin
dan kupukupu basah melintasi wajahku
Di hening matamu kutemukan rindu dan surat cinta
:aku suka rasa coklat

Tepi Kolam Taman Ganesha, 2007
 
STASIUN TERAKHIR

kau lihat
sketsa bunyi kereta api yang kucuri sore tadi
disana ada goresangoresan ibu; kaligrafi rindu
     yang telah membusuk
ayah memasukannya ke dalam tong sampah
saat senja pelanpelan merayap pulang
meninggalkan bau amis dan secangkir kopi pahit
gerimis sudah memahat matahari jadi merah keabuabuan
dan waktu adalah gerbong kereta terdepan. melintasi resah kemudian
dingin menghilang di balik pecahan rel

disini aku terlambat menemukan jejak
air mata ibu dari wajah muram ayah

Kamar Merah, 2007

KAMU DAN KITA

: Wildan Nugraha

bukankah kita semua orangorang bodoh? yang tenggelam
dalam angan dan gelisah
    bahkan cericit burung
    juga gugur angin
    pun
 menertawakan kita. diantara kuning daundaun mahoni
 yang mengambang diatas air kolam itu

dukaku adalah batu. lalu tawamu adalah resah embun
sampai hari melenyapkan kita. yang terus tenggelam
dalam lukisan detak jantung
    yang gemetar

Kamar Merah,  2007
 
TENGAH MALAM INI

: Ananda Putri Bumi

kita tertawa menyaksikan orangorang berebut bulan
sedang kita terlena di jalanan. sunyi tertiup angin. dan kita
menari bersama malam. mengapa tak pulang saja. kemudian
mengeja jalan Sarijadi: berdua

disana kita melipat jaket menjadi puisi
seperti permainan origami. di setiap tikungan
disetiap sepi yang kita gelar. hanya bunyi pohon
           kedinginan

ikanikan berenang di dalam angkot yang kita tumpangi
mereka reka mimpi di balik jendela. bermain di antara
               sela kaki dan rambut kita
bau malam semakin menusuk. lalu kau tersenyum di sampingku
ada gambar bintang yang tak sempat mereka curi dari pipimu

Kamar Merah,  2007

RUMAHKU SEDINGIN GERIMIS

taman ini telah ditumbuhi gerimis
hingga batubatu menjadi telaga
menghanyutkan lukisan bunga mawar
yang menempel di kanvas kaca rumah kami
rumah yang dingin. sedingin rinduku pada padi dan bumi
        tapi
di taman itu telah tumbuh gerimis. membuat dahandahan
menjadi banjir dan burungburung taman jadi angsa
tak pernah lagi terbang ke rumah kami. yang dingin
pada matahari

Kamar Merah,  2007
 
KEPADA MALAM

lalu: cinta pun berpendar seperti mimpi
yang mengendap di selasela malam
menunggu angin membawakan aroma
     senyummu

dan disini aku terus terbakar rindu
hingga batu pun kusangka dirimu


Kamar Merah,  2007

AKU MENGENALMU

: para TKI di dunia asing

aku mengenalmu
dari sepi dan bayangbayang waktu
dari ruang kosong tempat kunangkunang berbagi
cahaya dengan nyala lampu di jemarimu
     yang keriting itu
lalu kau, lalu dia, lalu aku
menciut jadi bungabunga plastik
menempeli bebukit hari. sampai laut
     tak mau membiru
     ombaknya pudar ditelan buih
telah kukenal dirimu. dari kehidupan
yang dingin dan asin
   yang mengabut pada gerimis
       resah
kau yang di matamu hidup berjuta kupukupu usang
menari hingga ujung tanah airmu. kemudian disini
aku, dia, mungkin mereka melihatmu pada
 tetesan air bekas cucian jemuran itu


Kamar Merah,  2007

SELAMAT MILAD

: Fitri Dwi Juniarny

inilah hari itu
hari dimana kupukupu menjadi purnama
membulat dalam detik
menguning pada dahandahan waktu
yang semakin tua. seperti kunangkunang
memanis di tepi jendela
 
tahun melukis wajahmu di awan
di bulan di bintang di mataku
sampai senja merapatkan warnanya
pada angin. lalu malam membuka
kalender baru untukmu

Kamar Merah,  2007

PERJALANAN

I
perjalanan ini menyisakan wajah
bulan tertiup angin. sunyi dan lelah
suara malam semakin menjauh. dan kereta api
terguling di terowongan resah itu

II
pesawat telah jatuh menabrak sunyi
      yang digiring awan awan

III
perahu itu masih jauh dari senja
dan ikanikan menghalangi gelombang
     angin terdiam
seperti nelayan yang disesatkan bintang
aku tenggelam

Kamar Merah,  2007

INILAH SAATNYA

inilah saatnya; batubatu itu mekar
merekah seperti bunga sedap malam yang kulukis
di keningmu. sebagai tanda rinduku

kesanalah bulan akan mengendap
   kedalam matamu yang purnama
meninggalkan jejak pada cuaca. menguning
di tepitepi musim. kemudian buah kenari
mengeras perlahanlahan di kesenyapan cinta kita

daundaun waktu akan menggulung lalu menyusun
rangkaian cerita di kota ini. menjadi lanskap
dalam secangkir kopi yang sering kita nikmati

sayang, hari ini aku ingin menjemputmu
di dasar malam. kemudian kita mulai
pelarian panjang kita
 
Kamar Maya,  2007

KESEDIHAN INI

aku merasakan kesedihan
seperti cendana yang tumbang
di kesenyapan hutan. sedang tanah
tak lagi basah oleh hujan

di dahannya yang rapuh itu
kupukupu mabuk menghisap anggur
dan kenangan. berguguran
bagai dedaun di tiup malam

sunyi tidak akan berbuah di lahan ini
karena air mata akan membusukan
setiap bunga yang mulai merekah
lalu wajahmu tak juga kutemukan
di batubatu. padahal kabut
telah menghilang di cangkir kopiku

Kamar Merah,  2007

LELAKI YANG JATUH CINTA PADA BUMI

setelah lama kulayari bumi,
gelombangnya sampai juga di hati
setelah terarungi semua rindu,
kutak lagi ingin ragu

tentang sebatang toblerone 
yang terbawa ombak hingga muara
tentang sebuah perahu dan secawan
es krim coklat yang tumpah
   di baitbait senja
lalu cinta menggenangi malam
jernih ke tepian redam

o, bulan telah lenyap di dahandahan nyiur
sedang risau belum kutulis pada daunnya
dan angin akan membawanya pergi
hanyut ke rantingranting
           sunyi
diakhir keresahan ini. tubuhku
adalah batu karang. menguap perlahan
menjadi gemawan, meneteskan segala sendu
dan ketika menyentuh tanah
bumi rimbun dipenuhi cintaku

Kamar Merah, 2007 

MASIH TENTANG SUNYI

barangkali hatiku tertawan sunyi
beku sampai ke ujung rindu
barangkali senyummu yang menawan sunyi
hingga mimpiku disesaki namamu

Kamar Merah, 2007
 
TENTANG SUNYI

bilakah sunyi membentang malam
langit yang menghitamkan bintangbintang
bilakah gerimis membilas semua kelam
saat cinta kuyup, dan kau datang

pada kesenyapan itu,
memudar harihari yang mulai resah
ketika embun gigilkan hati
kemudian kita bertanya
adakah waktu cukup buat kami

dan kau pergi menjauhi sunyi
sedang aku terus termangu
dalam getar rindu

Kamar Merah, 2007

PADA TITIAN SEPI INI

pada titian sepi ini kau melangkah pergi
meninggalkan secangkir teh manis
yang belum habis dan perbincangan
 kita belum juga usai 
tapi bekas bibirmu masih menempel
di gigir kelu, lalu malam kian tak menentu

rembulan tumpah mengguyur kota
kita pun gagap mengeja cinta
dalam setiap pertemuan, waktu
tak pernah berhenti di halte jalan itu
yang telah berkarat oleh mimpi

di titian sepi inilah aku simpan jejakmu
seperti angin yang menenggelamkan
semua kenangan
tentang  dirimu

--------------------
Institut Merdeka
 
Lian Kagura lahir di Bogor 30 Oktober 1982, puisi-puisinya ada di dalam buku Catatan Dari yang Ketakutan (Pustaka Latifah, 2007). Novelnya berjudul IORI:Terperangkap di Negeri Mimpi (Lingkar Pena, 2007). Pernah menjadi kepala sekolah di Forum Lingkar Pena Bandung. Sekarang beraktivitas di Institut Merdeka dan Majelis Sastra Bandung. Menjadi pembaca puisi di grup musikalisasi puisi Kapak Ibrahim. E-mail: liankagura@yahoo.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau