Tak seharusnya kau ranggas dalam gelisahmu. Sebab
malam ini adalah milikku. Sebab purnama dalam perutmu
harus kau keluarkan, jadikan ia cahaya, jadikan ia mengingat
kita. Dinda, sebab kau seorang perempuan.
Aku juga seorang perempuan, Dinda. Karenanya
aku ikut bela mati. Biarkan aku saja yang terbakar
mengantar suamiku ke suralaya, suamimu
kanda Abimanyu
yang perkasa.
“Dinda, kau melakukan tugasmu sebagai perempuan
dengan melahirkan keturunan suami kita, aku pun
melakukan tugasku sebagai perempuan
dengan bela mati.”
Gerimis ikut terbakar
kurusetra berpendar. Berjuta pasang mata
Dinda, matamu yang kutatap. Kutitip
seluruh cinta yang pernah kurajut dalam resah desah
napasmu. Pada basah panahpanah para ksatria dan
genderang perang esok pagi.
Dinda, laut air matamu tak kan sanggup memadamkan
api ini. Maka tutuplah hatimu. Lepaskan segala rindu
dan saksikanlah moksa diriku
kanda Abimanyu dalam dekapku
harum cempaka tubuhnya akan selalu ada
di darah perutmu.
Para dewa gegas menghampiriku
Kobar api menari di tubuhku,
tapi masih kutatap matamu, Dinda,
mata yang cemburu
Institut Merdeka, 2008
AKU MENGENALMU
: para TKW di dunia asing
aku mengenalmu
dari sepi dan bayangbayang waktu
dari ruang kosong tempat kunangkunang berbagi
kegelapan dengan nyala lampu di jemarimu
yang keriting itu
lalu kau, lalu dia, lalu aku
menciut jadi bungabunga lumut
menempeli bebukit hari. sampai laut
tak mau membiru
ombaknya pudar ditelan buih
telah kukenal dirimu. dari kehidupan
yang dingin dan asin
yang mengabut pada gerimis
resah
kau yang di matamu hidup berjuta kupukupu usang
menari hingga ujung tanah airmu. kemudian disini
aku, dia, mungkin mereka melihatmu pada
tetesan air bekas cucian jemuran itu
Kamar Merah, 2007
KUANYAM KOTAMU