BULAT BULAN DI DEKAT JENDELA
Dirimu yang mendekap sungai di tepi jendela seberang sana, adalah peri yang menjelma
Siluet bulan di setiap malam. Bulat matamu yang selalu kuingat, sebab ia hitam dan
Berkilat, serupa mata kucing di dalam gelap, serupa bintang yang menari di luas
Cakrawala hatiku. Dan setiap kutatap matamu lewat teleskop yang kupasang di
Loteng rumahku, aku menemukan ngarai yang sunyi, tanpa kupukupu, tanpa suara
Burung melagu.
Hanya puri tua dan sepagar kawat berduri.
Tak pernah lagi kulihat dirimu mengunyah randu. Sejak saat itu. Ketika senja murung
Meninggalkan rumahmu tergesa dan kau lemparkan semua kenangan rombeng padanya,
Aku lupa apakah senja sempat memungutnya atau tidak, tapi dibalik punggungnya
Yang berkabut tak kutemukan lagi gerimis yang deras merincikrincik. Tempat dirimu
Menulis puisi atau diary. Lalu kau bergegas menutup pintu. Sejak saat itu pula aku tahu,
Tidak akan kudapati lagi berbaitbait kakawin tentang rindu, tentang seorang perawan
Yang jatuh cinta pada batu.
Sudah pasti kini air matamu yang meranggas di dekat jendelaku, mengembunkan semua
Kaca milikku.
O, bulat bulan di dekat jendelamu membuatku ingin membangun sebuah kota di pipimu,
Kota yang paling indah. Dengan jembatan yang kusulam sendiri dari benang waktu.
Aku paham kenapa dirimu senantiasa menginginkan sebuah jembatan panjang menjulur
Di jendela kamarmu. Agar kau dapat berlari meninggalkan rahasia yang tumbuh sebagai
Lelaki di sepanjang dinding kamarmu. Lakilaki yang semuanya berwajah mirip senja,
Yang di keningnya ada tanda kesumba. Tapi aku telah melihatmu dan lelaki itu dari
Jendela kamarku. Dengan teleskop yang kupasang di loteng rumahku sambil menebak
Kirakah senyummu berguguran, memenuhi jalanan, menumbuh kembangkan segala
Impian. Maka saat itulah hijab antara aku dan dirimu dirobohkan. Tidak akan ada lagi
Keraguan, tidak akan muncul lagi ketakutan. Kau akan dapat melihatku dengan matamu
Yang berpuri, berkawat berduri. Akan kutanam bebunga di ngarai itu, supaya datang
Kupukupu dan bersenandung segala burung.
Dirimu yang memeluk sungai di tepi jendela seberang itu, yang kulihat dari jendela
Kamarku. Dengan teleskop yang kupasang di loteng rumahku, adalah dirimu yang kini
Menjadi berita di setiap media. Sebab, pada akhirnya, kau mampu membunuh semua
Senja, satu persatu, dengan pisau cukur yang kau selipkan di antara payudaramu.
Institut Merdeka, 2008
DUA PEREMPUAN
Matamu, Dinda, tak ubahnya bintang yang redup.
Berkilat di dalam gelap, tapi lemah dan kalah.