Ali menganggap, ruwetnya proses kepemilikan menjadi kendala serius sehingga WNA tidak terlalu antusias.
Pendapat senada dikemukakan Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto.
Menurut dia, peraturan kepemilikan WNA atas apartemen sebelum UU Cipta Kerja, belum bisa membuat sektor properti Indonesia bergerak signifikan.
Ferry menyebut tiga faktor yang menjadi kendala, yakni status tanah, batasan harga, dan keimigrasian atau lebih spesifik lagi izin tinggal WNA.
Baca juga: Ingat, WNA Hanya Punya Dua Hak Atas Tanah di Indonesia
"Pemerintah harus menyinkronkannya dengan UUPA mengenai status tanah apartemen, batasan harga juga harus ditetapkan, dan masalah keimigrasian. Jika semua sinkron, akan menarik WNA untu beli apartemen di Indonesia," tutur Ferry.
Dari ketiga faktor tersebut, keimigrasian WNA dianggap menjadi penghambat terbesar. Hanya WNA yang telah memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) yang diperbolehkan membeli apartemen.
Hal ini berbeda dengan di Singapura, WNA bisa membeli apartemen meskipun mereka tidak tinggal dan menetap (berdomisili) di negara itu.
"Jangan sampai muncul negative feedback, karena seharusnya UU Cipta Kerja bisa menjadi katalis buat investasi asing," imbuh Ferry.
Jika pun kemudian Pemerintah membuat peraturan turunan dari UU Cipta Kerja, haruslah yang bisa menggairahkan kepemilikan WNA dengan cara menghilangkan kewajiban memiliki KITAS dan atau KITAP.
Menurut Partner Ryz Property Consulting Restaditya Harris peraturan ini harus segera dibuat sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja.
"Masih belum terlambat, jika semangatnya untuk memudahkan dan menggairahkan minat WNA membeli apartemen di Indonesia," kata Restaditya.
Meski begitu, Restaditya tetap berpendapat bahwa kepemilikan WNA tidak akan mendorong industri properti Tanah Air bergerak maju.
Sebaliknya, yang potensial terjadi adalah perilaku spekulatif dalam hal berinvestasi yang bisa saja dilakukan oleh pngembang properti atau developer, pembeli berstatus investor ritel, dan juga masyarakat umum pemilik lahan.
Baca juga: Menyoal Kesiapan Indonesia, Jika Keran Kepemilikan Asing Dibuka Lebar
Jika spekulasi dan risiko eksternalitas lainnya terus berkembang liar, maka akan berpotensi menghambat penyediaan rumah murah, dan pengadaan lahan untuk infrastruktur umum.
"Pemerintah harus merancang mitigasi risiko seperti ini," cetus Restaditya.
Dia mengusulkan Pemerintah untuk melakukan pembatasan jumlah unit yang dapat dibeli oleh orang asing, kecuali berbentuk badan hukum Penanam Modal Asing (PMA).
"Batasannya bukan pada harga," imbuh dia.
Lepas dari itu, Restaditya sendiri ragu orang asing akan berminat membeli apartemen di Indonesia, karena secara hitung-hitungan bisnis tidak menarik dan tidak masuk akal.
Dari kajian Ryz Property Consulting, Indonesia atau lebih spesifik lagi Jakarta bukan destinasi global citizen untuk tinggal atau bekerja dan menempuh pendidikan.
Hal ini terbukti dari jumlah tenaga kerja asing di Indonesia yang masih minim, hingga pertengahan Tahun 2019, baru terdapat 96.000 WNA.
Mereka, para pekerja saing ini berdomisili di Pulau Jawa dengan hampir 80 persen berada di Jakarta.