Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

UU Cipta Kerja, Polemik Kepemilikan WNA, dan Spekulasi Harga Properti

Kepemilikan apartemen oleh WNA ini tercantum dalam Pasal 144 (1) UU Cipta Kerja yang berbunyi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Sarusun) dapat diberikan kepada WNA yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini dianggap tidak jelas dan berpotensi menimbulkan polemik berkepanjangan di kalangan masyarakat.

Kendatipun Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menegaskan, bahwa WNA hanya diizinkan untuk memiliki ruang Sarusun atau apartemen.

Izin ini diberikan karena sifat rusun berbeda dengan landed house (rumah tapak).

"Sebenarnya yang kami (Pemerintah) bolehkan adalah kepemilikan ruang yang namanya rusun," tegas Sofyan dalam konferensi pers bersama UU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020).

Selama ini, kata Sofyan, para ahli hukum memperdebatkan soal kepemilikan apartemen oleh WNA karena apartemen berdiri di atas tanah bersama yang dimiliki bersama.

Namun menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, penyebutan hak milik pada Pasal 144 (1) tersebut tidak jelas dan bertentangan dengan Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 29 Tahun 2016.

Permen ini menyebutkan bahwa Hak Milik Sarusun adalah kepemilikan oleh WNI atas sarusun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai (HP) di atas tanah negara, serta HGB atau HP di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL).

Sementara untuk orang asing, menurut Permen tersebut, hanya dapat berupa Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun (Hak Pakai Sarusun), yaitu Hak Milik Sarusun yang dipunyai atau dimiliki orang asing.

"Jadi dengan adanya penyebutkan Hak Milik atas Sarusun pada pasal 144 (1) UU Cipta Kerja, perlu ada penegasan Hak Milik seperti apa yang dimaksud," kata Ali kepada Kompas.com, Minggu (11/10/2020).

Padahal, dalam peraturan sebelumnya, kepemilikan apartemen oleh WNA sudah dijamin dengan Hak Pakai. Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015.

Pasal 4 PP Nomor 103 Tahun 2015 menyebutkan bahwa hunian yang dapat dimiliki oleh WNA adalah Rumah Tunggal di atas tanah Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Milik.

WNA juga dapat memiliki Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.

Namun demikian, dalam PP tersebut tidak menyebutkan ‘Hak Milik Sarusun’ dan hanya dikatakan bisa memiliki ‘Sarusun’ di atas Hak Pakai. 

Tak hanya PP, bahkan UU Pokok Dasar Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pun memberikan WNA Hak Pakai untuk dapat memiliki Sarusun.

Masalahnya, kata Ali, hingga saat ini hampir semua apartemen yang ditawarkan pengembang memiliki status HGB di atas tanah Hak Pakai, dan bukan Hak Pakai.

Karena itu Ali mempertanyakan, bila WNA bisa memiliki apartemen dengan Hak Pakai, bagaimana dengan proyek-proyek aparteman yang saat ini memiliki HGB.

"Apakah bisa langsung diberikan Hak Milik atas Sarusun kepada WNA karena itu akan menyalahi aturan kepemilikan. Bila tidak, apakah semua proyek apartemen harus dialihkan dulu menjadi Hak Pakai," papar Ali.

Menurutnya, hal ini harus dapat dijelaskan secara rinci oleh pemerintah karena bila tidak, hanya akan menimbulkan preseden kontraproduktif, pasar dan masyarakat akan dilanda kebingungan dan polemik bekepanjangan.

Ali menganggap, ruwetnya proses kepemilikan menjadi kendala serius sehingga WNA tidak terlalu antusias.

Pendapat senada dikemukakan Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry Salanto.

Menurut dia, peraturan kepemilikan WNA atas apartemen sebelum UU Cipta Kerja, belum bisa membuat sektor properti Indonesia bergerak signifikan.

Ferry menyebut tiga faktor yang menjadi kendala, yakni status tanah, batasan harga, dan keimigrasian atau lebih spesifik lagi izin tinggal WNA.

"Pemerintah harus menyinkronkannya dengan UUPA mengenai status tanah apartemen, batasan harga juga harus ditetapkan, dan masalah keimigrasian. Jika semua sinkron, akan menarik WNA untu beli apartemen di Indonesia," tutur Ferry.

Dari ketiga faktor tersebut, keimigrasian WNA dianggap menjadi penghambat terbesar. Hanya WNA yang telah memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) yang diperbolehkan membeli apartemen.

Hal ini berbeda dengan di Singapura, WNA bisa membeli apartemen meskipun mereka tidak tinggal dan menetap (berdomisili) di negara itu.

"Jangan sampai muncul negative feedback, karena seharusnya UU Cipta Kerja bisa menjadi katalis buat investasi asing," imbuh Ferry.

Mengukur Minat WNA dan Potensi Spekulasi

Jika pun kemudian Pemerintah membuat peraturan turunan dari UU Cipta Kerja, haruslah yang bisa menggairahkan kepemilikan WNA dengan cara menghilangkan kewajiban memiliki KITAS dan atau KITAP.

Menurut Partner Ryz Property Consulting Restaditya Harris peraturan ini harus segera dibuat sebagai tindak lanjut dari UU Cipta Kerja.

"Masih belum terlambat, jika semangatnya untuk memudahkan dan menggairahkan minat WNA membeli apartemen di Indonesia," kata Restaditya.

Meski begitu, Restaditya tetap berpendapat bahwa kepemilikan WNA tidak akan mendorong industri properti Tanah Air bergerak maju.

Sebaliknya, yang potensial terjadi adalah perilaku spekulatif dalam hal berinvestasi yang bisa saja dilakukan oleh pngembang properti atau developer, pembeli berstatus investor ritel, dan juga masyarakat umum pemilik lahan.

Jika spekulasi dan risiko eksternalitas lainnya terus berkembang liar, maka akan berpotensi menghambat penyediaan rumah murah, dan pengadaan lahan untuk infrastruktur umum.

"Pemerintah harus merancang mitigasi risiko seperti ini," cetus Restaditya.

Dia mengusulkan Pemerintah untuk melakukan pembatasan jumlah unit yang dapat dibeli oleh orang asing, kecuali berbentuk badan hukum Penanam Modal Asing (PMA).

"Batasannya bukan pada harga," imbuh dia.

Lepas dari itu, Restaditya sendiri ragu orang asing akan berminat membeli apartemen di Indonesia, karena secara hitung-hitungan bisnis tidak menarik dan tidak masuk akal.

Hal ini terbukti dari jumlah tenaga kerja asing di Indonesia yang masih minim, hingga pertengahan Tahun 2019, baru terdapat 96.000 WNA.

Mereka, para pekerja saing ini berdomisili di Pulau Jawa dengan hampir 80 persen berada di Jakarta.

"Kami memperkirakan jumlah pekerja asing di Jakarta yang mungkin dapat membeli properti adalah sekitar 64.000 orang," cetus Restaditya.

Selain itu, masih banyak apartemen belum terjual yang diiklankan dengan iming-iming "investasi", padahal hingga saat ini jumlahnya sangat berlimpah dan tidak ada yang menempatinya.

Mengutip riset Cushman and Wakefield Indonesia, tingkat okupansi apartemen di Jakarta dan sekitarnya masih sangat rendah dengan tingkat kekosongan lebih dari 50 persen dari total 300.675 unit apartemen.

Situasi ini bisa menjadi semakin buruk hingga akhir 2020, bahkan dalam skenario seluruh WNA memutuskan membeli apartemen, masih akan terdapat unit-unit tambahan yang kosong sebanyak 28,6 persen.

Sementara angka backlog hunian menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih pada kisaran 1,3 juta unit.

"Kalau kita hitung secara detail, mungkin pendapatan sewa apartemen efektif (sudah termasuk menghitung masa kosong) tidak akan lebih dari 3 persen sampai 4 persen per tahun, itu pun kalau beruntung. Ini tidak menarik bagi WNA untuk investasi," tutur Restaditya.

Terlebih jika mengharapkan keuntungan dari capital gain yang nyaris tidak bisa karena pasokan apartemen terus ditambah secara tidak terkendali.

Belum lagi jika melihat minat orang asing yang lebih suka membeli properti di daerah-daerah eksotis seperti pantai, gunung, dan pulau, karena mereka ingin hidup tenang, jauh dari hiruk pikuk kota.

"Sebaliknya orang asing yang tinggal di kota biasanya hanya untuk bekerja dan bukan karena passion untuk tinggal di Indonesia secara jangka panjang," imbuh dia.

Dampak Investasi Asing

Bukan rahasia lagi jika keran investasi asing dibuka lebar, akan berdampak pada kenaikan harga properti dan menjadi pemicu utama praktik spekulasi.

Studi yang dilakukan oleh Nguyen (2011), Gholipour (2012), Gauder et al. (2014), Gholipour et al. (2014), Wokker & Swieringa (2016), Brooks et al. (2017), dan Guest & Rohde (2017) menunjukkan bahwa investasi asing berkontribusi kepada kenaikan harga properti.

Walau demikian, hal tersebut bervariasi di antara kota dan negara yang diteliti dalam studi tersebut.

Menurut Rytz Property Consulting, dampak kepemilikan properti oleh WNA yang menyebabkan kenaikan harga-harga properti di London, New York, San Francisco, Sydney, dan Melbourne membuat masyarakat setempat kesulitan untuk membeli atau menyewa properti.

Hasil dari semangat proteksionisme dan perhatian penuh terhadap kepemilikan properti oleh asing ini adalah 71 negara melarang individu asing untuk memiliki properti di negara mereka, dan 17 negara hanya mengizinkan kepemilikan parsial.

Sementara 109 negara lainnya masih mengizinkan kepemilikan penuh bagi individu asing.

Timbul pertanyaan mendasar, apakah perluasan kepemilikan WNA atas apartemen menjadi stimulus yang tepat bagi industri properti di tanah air untuk saat ini?

Selama risiko eksternalitas dapat dikendalikan, maka kebijakan ini merupakan salah satu bentuk stimulus yang tepat untuk menggerakkan industri properti tanah air, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Namun, jika data backlog  hunian serta data-data pendukung lainnya, permintaan akan properti hunian dari pasar domestik masih lebih banyak dibandingkan potensi tambahan permintaan dari orang asing, sehingga industri properti tidak kekurangan permintaan, sebaiknya ditinjau ulang.

"Karena dampak dari kebijakan ini sangat signifikan, namun dampak baik atau buruk yang ditimbulkan serta ‘bangkitnya’ industri properti Indonesia sangat bergantung dari sudut pandang masing-masing pemangku kepentingan," pungkas Restaditya.

https://properti.kompas.com/read/2020/10/12/095421421/uu-cipta-kerja-polemik-kepemilikan-wna-dan-spekulasi-harga-properti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke