JAKARTA, KOMPAS.com - Kinerja bisnis perhotelan di Bali anjlok selama Kuartal II-2020. Bahkan, boleh disebut jauh lebih buruk ketimbang Kuartal I.
Menurut data STR Global, pada April dan Mei tingkat okupansi hotel di Pulau Dewata ini tercatat paling rendah sepanjang sejarah.
Angkanya kurang dari 10 persen dengan tarif harian rata-rata atau average daily rate (ADR) di bawah 50 dollar AS per malam.
Terjerembabnya tingkat okupansi, menyusul pembatasan perjalanan udara yang berdampak pada penurunan jumlah kunjungan wisatawan.
Bayangkan saja, mengutip data Dinas Pariwisata Bali, hanya ada 327 wisatawan yang mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai pada bulan April.
Baca juga: Indigo Seminyak Didapuk Jadi Resor Mewah Terbaik di Bali
Sementara pada bulan berikutnya, hanya terdapat 116 wisatawan yang tercatat mengunjungi Bali.
Turis Australia kemungkinan besar absen hingga akhir tahun 2020 karena pemerintah mengeluarkan larangan bepergian bagi warganya dan penduduk tetap kecuali mereka memiliki kepentingan yang diizinkan.
Karena hal ini, pariwisata Bali kemungkinan akan mendapat tekanan lebih lanjut, menyusul nihilnya turis China yang juga menghentikan kunjungan mereka hingga akhir tahun 2020.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Boston Consulting Group pada Mei 2020, sekitar 59 persen rumah tangga China mengkhawatirkan tentang keuangan mereka dan berhati-hati dalam bepergian.
Situasi yang sudah buruk semakin diperparah oleh kasus lonjakan terinfeksi Covid-19 secara tiba-tiba pada pertengahan Juni, yang sering disebut sebagai gelombang kedua Pandemi.
Baca juga: Bisnis Hotel di Bali, Pilihannya Cuma Dua: Tutup atau Banting Harga
Dengan demikian, harapan bahwa pasar China akan kembali, harus dikubur dalam-dalam, setidaknya hingga akhir 2020.
Ini artinya, Bali berpotensi kehilangan sekitar 40 persen dari total wisatawan tahun 2020 ini. Selain itu, ada kecenderungan untuk menghindari penerbangan jarak jauh dan atau penerbangan transit lebih dari satu kali.
Melihat kecenderungan ini, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa wisatawan domestik akan menjadi tulang punggung pariwisata Bali, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan.
Tersebab anjloknya jumlah kunjungan inilah banyak pengembang dan pemilik hotel kemudian menutup sementara propertinya.
Colliers International Indonesia melaporkan, dalam satu semester tahun ini, setidaknya 170 hotel menutup operasinya untuk sementara.
Baca juga: Kunjungan Turis Anjlok karena Corona, Bali Harus Manfaatkan Cara Lain
Di sisi lain, dua hotel baru yang sedianya menyumbang pasokan dan dijadwalkan buka tahun ini, terpaksa ditunda untuk waktu yang belum ditentukan.
"Dengan demikian tidak akan ada proyek hotel baru untuk tahun ini. Kami masih terus memantau kemajuan konstruksi karena jadwal penyelesaian mungkin berubah berdasarkan kondisi di lapangan," papar Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto.
Secara umum, Pandemi Covid-19 mengubah konstelasi bisnsi dan industri perhotelan. Tak hanya kinerja yang buruk, di balik ini terdapat beragam upaya untuk tetap dapat bertahan.
Ferry menuturkan, teknologi digital ini mencakup pencahayaan berbasis sensorik di area umum, dan teknologi nirkontak yang mengurangi kontak langsung ke fasilitas publik.
Selain teknologi, akan diterapkan sertifikasi hotel internasional terutama yang berkaitan dengan kebersihan, dan keamanan yang diharapkan dapat meyakinkan para tamu untuk menginap.
Dus, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sedang mempersiapkan pembukaan kembali Bali pada Juli untuk pasar domestik dan September untuk pasar luar negeri.
Protokol dan peraturan baru sedang dipersiapkan dan mereka harus mengikuti pedoman yang diberikan oleh WHO dan WTTC.
Protokol ini harus diterapkan di semua tujuan wisata karena akan memberikan keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan.
Pemerintah juga harus melakukan pengawasan yang melekat untuk mencegah penyebaran virus.
Kendati semua persiapan telah dilakukan, menurut Ferry, tidak mudah meyakinkan turis terutama orang asing untuk berlibur. Kebersihan, kesehatan, dan keamanan akan menjadi masalah utama.
Ferry menyebut, wisata berbasis alam dan ramah lingkungan diprediksi akan menjadi tren baru, dan ini akan menjadi keuntungan buat Bali yang memang memiliki sejumlah obyek wisata seperti ini.
Pemerintah baru saja mengumumkan bahwa maskapai penerbangan dapat menjual tiket mereka dengan harga batas atas.
"Ini harus menjadi cara untuk menutupi kerugian dari penutupan bandara dan pembatasan penerbangan yang terjadi sebelumnya," ucap Ferry.
Penumpang harus menyerahkan dokumen ke maskapai sebelum naik pesawat, termasuk hasil tes PCR atau hasil tes cepat, yang berarti biaya tambahan untuk bepergian.
Baca juga: Potato Head Studios, Resor Pertama di Bali yang Terbuka untuk Publik
Menurut Ferry, pemulihan bisnsi dan industri hotel di Bali Rebound akan memakan waktu lama, bisa berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
"Tetapi berdasarkan pengalaman sebelumnya, pelaku bisnis perhotelan berharap bahwa industri akan pulih dalam 6 bulan hingga 12 bulan ke depan," imbuh dia.
Ferry menekankan, selama beberapa bulan ke depan, pasar domestik akan menjadi penyelamat industri pariwisata sekaligus bisnis dan industri perhotelan Bali.
Namun pasar domestik harus dianggap sebagai pasar yang sensitif terhadap harga, sehingga paket perjalanan yang lebih akomodatif akan memikat lebih banyak wisatawan lokal masuk Bali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.