JAKARTA, KOMPAS.com - Isu kepemilikan apartemen oleh warga negara asing (WNA) kembali muncul setelah Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan Rapat Paripurna DPR RI, pada Senin (5/10/2020).
Kepemilikan apartemen oleh WNA ini tercantum dalam Pasal 144 (1) UU Cipta Kerja yang berbunyi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Sarusun) dapat diberikan kepada WNA yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal ini dianggap tidak jelas dan berpotensi menimbulkan polemik berkepanjangan di kalangan masyarakat.
Kendatipun Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menegaskan, bahwa WNA hanya diizinkan untuk memiliki ruang Sarusun atau apartemen.
Izin ini diberikan karena sifat rusun berbeda dengan landed house (rumah tapak).
Baca juga: Sofyan Djalil Tegaskan Hak Milik Apartemen untuk WNA Berbeda dengan Rumah Tapak
"Sebenarnya yang kami (Pemerintah) bolehkan adalah kepemilikan ruang yang namanya rusun," tegas Sofyan dalam konferensi pers bersama UU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020).
Selama ini, kata Sofyan, para ahli hukum memperdebatkan soal kepemilikan apartemen oleh WNA karena apartemen berdiri di atas tanah bersama yang dimiliki bersama.
Namun menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, penyebutan hak milik pada Pasal 144 (1) tersebut tidak jelas dan bertentangan dengan Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 29 Tahun 2016.
Permen ini menyebutkan bahwa Hak Milik Sarusun adalah kepemilikan oleh WNI atas sarusun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai (HP) di atas tanah negara, serta HGB atau HP di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL).
Sementara untuk orang asing, menurut Permen tersebut, hanya dapat berupa Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun (Hak Pakai Sarusun), yaitu Hak Milik Sarusun yang dipunyai atau dimiliki orang asing.
"Jadi dengan adanya penyebutkan Hak Milik atas Sarusun pada pasal 144 (1) UU Cipta Kerja, perlu ada penegasan Hak Milik seperti apa yang dimaksud," kata Ali kepada Kompas.com, Minggu (11/10/2020).
Baca juga: UU Cipta Kerja Perluas Kepemilikan WNA Atas Apartemen Menjadi Hak Milik
Padahal, dalam peraturan sebelumnya, kepemilikan apartemen oleh WNA sudah dijamin dengan Hak Pakai. Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015.
Pasal 4 PP Nomor 103 Tahun 2015 menyebutkan bahwa hunian yang dapat dimiliki oleh WNA adalah Rumah Tunggal di atas tanah Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Milik.
WNA juga dapat memiliki Sarusun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai.
Namun demikian, dalam PP tersebut tidak menyebutkan ‘Hak Milik Sarusun’ dan hanya dikatakan bisa memiliki ‘Sarusun’ di atas Hak Pakai.
Tak hanya PP, bahkan UU Pokok Dasar Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 pun memberikan WNA Hak Pakai untuk dapat memiliki Sarusun.
Masalahnya, kata Ali, hingga saat ini hampir semua apartemen yang ditawarkan pengembang memiliki status HGB di atas tanah Hak Pakai, dan bukan Hak Pakai.
Karena itu Ali mempertanyakan, bila WNA bisa memiliki apartemen dengan Hak Pakai, bagaimana dengan proyek-proyek aparteman yang saat ini memiliki HGB.
"Apakah bisa langsung diberikan Hak Milik atas Sarusun kepada WNA karena itu akan menyalahi aturan kepemilikan. Bila tidak, apakah semua proyek apartemen harus dialihkan dulu menjadi Hak Pakai," papar Ali.
Baca juga: MA Tak Akui Praktik Pinjam Nama WNA atas Kepemilikan Tanah
Menurutnya, hal ini harus dapat dijelaskan secara rinci oleh pemerintah karena bila tidak, hanya akan menimbulkan preseden kontraproduktif, pasar dan masyarakat akan dilanda kebingungan dan polemik bekepanjangan.