JAKARTA, KOMPAS.com - DPR RI resmi mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).
Pengesahan ditandai dengan ketukan palu oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin setelah mendapatkan persetujuan dari seluruh peserta rapat.
Pada sektor pertanahan, Pemerintah berencana membentuk bank tanah beserta badannya yang diatur dalam 10 Pasal, mulai Pasal 125 hingga 135 UU Cipta Kerja.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil mengungkapkan, bank tanah berfungsi agar Negara dapat memiliki dan menguasai tanah dengan otoritas yang ada melalui Kementerian ATR/BPN.
Menurut Sofyan, Kementerian ATR/BPN seharusnya memiliki dua fungsi yakni, regulator pertanahan dan land manager (pengelola tanah).
Regulator pertanahan ini memiliki tugas untuk mengatur hak milik dan memberikan sertifikat hak atas tanah.
Baca juga: UU Cipta Kerja Memungkinkan Negara Menyediakan Rumah Rakyat Gratis
Sedangkan, pengelola tanah atau bank tanah bertugas untuk mengelola, menampung, serta mendistribusikan tanah untuk kepentingan umum dan Reforma Agraria atas nama negara.
"Bank tanah ini memungkinkan kita, negara, memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga yang sangat murah bahkan gratis," kata Sofyan saat konferensi pers bersama UU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020).
Perolehan bank tanah bisa berupa tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) telantar atau tak diperpanjang yang diambil Pemerintah dan kemudian secara penuh direstribusikan kepada masyarakat.
Namun, beleid baru ini masih menimbulkan kontroversi di kalangan ahli hukum pertanahan dan praktisi properti.
Pengamat Hukum Pertanahan dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo menganggap UU Cipta Karya ini berlebihan.
Menurut Erwin, wacana bank tanah dalam konteks kepentingan perkebunan, dan pertanian masih masuk akal karena dapat diterapkan.
Baca juga: Tak Sebatas Regulator, Pemerintah Punya Fungsi Mengelola Bank Tanah
Lahan untuk dua kepentingan ini masih luas dan tersebar di wilayah-wilayah yang tidak padat penduduk.
Oleh karenanya, Pemerintah dapat memanfaatkan tanah eks HGU yang ditelantarkan atau tidak dimanfaatkan.
Namun, untuk kepentingan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bank tanah akan menghadapi banyak kendala.