Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Bank Tanah dan Stimulus Fiskal yang Diharapkan

Kompas.com - 13/10/2020, 09:15 WIB
Hilda B Alexander,
Suhaiela Bahfein

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com DPR RI resmi mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang (UU) melalui Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).

Pengesahan ditandai dengan ketukan palu oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin setelah mendapatkan persetujuan dari seluruh peserta rapat.

Pada sektor pertanahan, Pemerintah berencana membentuk bank tanah beserta badannya yang diatur dalam 10 Pasal, mulai Pasal 125 hingga 135 UU Cipta Kerja.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil mengungkapkan, bank tanah berfungsi agar Negara dapat memiliki dan menguasai tanah dengan otoritas yang ada melalui Kementerian ATR/BPN.

Menurut Sofyan, Kementerian ATR/BPN seharusnya memiliki dua fungsi yakni, regulator pertanahan dan land manager (pengelola tanah).

Regulator pertanahan ini memiliki tugas untuk mengatur hak milik dan memberikan sertifikat hak atas tanah.

Baca juga: UU Cipta Kerja Memungkinkan Negara Menyediakan Rumah Rakyat Gratis

Sedangkan, pengelola tanah atau bank tanah bertugas untuk mengelola, menampung, serta mendistribusikan tanah untuk kepentingan umum dan Reforma Agraria atas nama negara.

"Bank tanah ini memungkinkan kita, negara, memberikan tanah untuk rumah rakyat di perkotaan dengan harga yang sangat murah bahkan gratis," kata Sofyan saat konferensi pers bersama UU Cipta Kerja, Rabu (7/10/2020).

Perolehan bank tanah bisa berupa tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) telantar atau tak diperpanjang yang diambil Pemerintah dan kemudian secara penuh direstribusikan kepada masyarakat.

Namun, beleid baru ini masih menimbulkan kontroversi di kalangan ahli hukum pertanahan dan praktisi properti.

Pengamat Hukum Pertanahan dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia (LAKPI) Erwin Kallo menganggap UU Cipta Karya ini berlebihan.

Menurut Erwin, wacana bank tanah dalam konteks kepentingan perkebunan, dan pertanian masih masuk akal karena dapat diterapkan.

Baca juga: Tak Sebatas Regulator, Pemerintah Punya Fungsi Mengelola Bank Tanah

Lahan untuk dua kepentingan ini masih luas dan tersebar di wilayah-wilayah yang tidak padat penduduk.

Oleh karenanya, Pemerintah dapat memanfaatkan tanah eks HGU yang ditelantarkan atau tidak dimanfaatkan.

Namun, untuk kepentingan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bank tanah akan menghadapi banyak kendala.

Terutama dalam perolehannya yang berpotensi menjadi kontraproduktif.

"Untuk perkebunan dan pertanian, masih oke. Tapi, untuk penyediaan perumahan, tidak masuk akal, karena tanah Negara yang akan dimanfaatkan pasti posisinya di perkotaan. Dan itu tidak bebas alias ada yang menguasai," kata Erwin kepada Kompas.com, Senin (12/10/2020).

Ilustrasi.www.shutterstock.com Ilustrasi.
Erwin menuturkan, pengadaan tanah untuk perumahan harus dilakukan dengan pendekatan politis melalui kebijakan politik anggaran.

Hal ini karena Pemerintah tidak bisa sembarangan mengambil atau membebaskan lahan di perkotaan untuk penyediaan perumahan bagi MBR, meski pun status tanahnya milik Negara. 

"Jika kemudian Pemerintah mulai mengeksekusi perolehan lahan, maka itu artinya harus keluar ongkos. Terlebih goal-nya adalah supaya MBR memiliki rumah. Tentunya ini ada harganya, tidak gratis," kata Erwin.

Baca juga: Mengenal Bank Tanah Versi UU Cipta Kerja, Apa Fungsi dan Perannya?

Sementara menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, konsep bank tanah justru dapat memberikan angin segar untuk pemenuhan kebutuhan hunian bagi MBR dan yang tinggal di perkotaan.

"Meski demikian, kami melihat belum ada hal spesifik yang ditujukan dalam UU Cipta Kerja dalam penyediaan hunian untuk rakyat," kata Ali.

Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan dan pasal tersendiri yang menyangkut ketersediaan bank tanah untuk hunian MBR dan masyarakat urban perkotaan.

Mengingat, bank tanah saat ini lebih diarahkan kepada penyediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, dan mendukung investasi bagi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan industri.

Bank tanah untuk perumahan sebaiknya berada di bawah badan perumahan dan tak tergabung dengan dewan pengawas bank tanah.

Badan perumahan tersebut nantinya berada di bawah Presiden dan terhubung oleh karakteristik perumahan lintas kementerian, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri.

Kemudian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR), serta Kementerian Sosial.

Bank tanah untuk hunian nantinya tidak hanya dari tanah negara yang sudah ada dan tak harus melalui pembelian lahan.

Baca juga: Setelah PP Terbit, Badan Bank Tanah Bakal Segera Dibentuk

Bahkan, bank tanah harus diberdayakan dengan menggarap tanah-tanah milik BUMN/BUMD, termasuk tanah yang menjadi kewajiban pengembang swasta melalui hunian berimbang.

Selanjutnya, pasokan bank tanah yang ada dikelola dan diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Pemda), badan bank tanah, BUMN/BUMD, badan hukum milik negara/daerah atau badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

Penguatan bank tanah di daerah juga harus dilakukan karena sangat terkait dengan tata ruang wilayah setempat.

Ali berpendapat, konsep bank tanah ini harus didorong agar masyarakat dapat memeroleh hunian yang layak dengan pengendalian harga tanah yang harusnya dapat dilakukan dengan bank tanah.

Stimulus Fiskal

Alih-alih membentuk badan bank tanah yang memiliki fungsi dengan resistensi tinggi, Erwin mengusulkan, sebaiknya Pemerintah menerapkan stimulus fiskal.

Bagaimana Pemerintah mengatasi ketimpangan antara daya beli (puschasing power) masyarakat dan ongkos produksi (production cost) hunian.

Ilustrasi.shutterstock Ilustrasi.
Cara terbaik untuk penyediaan rumah bagi MBR adalah mengurangi sejumlah komponen pembentuk harga yang mencekik yakni rezim perpajakan.

Pajak dalam membangun rumah beragam jenis dan besarannya, yang dikenakan sejak rumah dalam proses pembangunan.

Mulai dari PPN, BPHTB, hingga retribusi IMB, yang besarannya bisa mencapai sekitar 30 persen. Angka ini, dianggap sangat signifikan jika dihilangkan dan dapat membantu MBR memiliki rumah.

"Bank tanah bukan satu-satunya jawaban. Ada bank tanah, tapi komponen cost tidak dikurangi, sama saja bohong. Toh, tanpa bank tanah, swasta tetap akan membangun rumah," cetus Erwin.

Di sini, menurut Erwin, Pemerintah harus lapang dada kehilangan sebagian pendapatannya karena semangatnya adalah "merumahkan" kalangan MBR.

Baca juga: Sekjen Kementerian ATR: Bank Tanah Miliki Fungsi Intermediasi

Selain fiskal, stimulus lainnya yang harus diberikan Pemerintah adalah subsidi infrastruktur perumahan.

Domainnya ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kementerian inilah yang harusnya membangun infrastruktur perumahan untuk MBR.

"Pangkas birokrasi yang rumit, mereka bisa langsung membangun. Jangan diserahkan kepada pengembang," imbuh dia.

Mengapa Kementerian PUPR harus turun tangan, Erwin beralasan, karena tujuan UU Cipta Kerja ini adalah merampingkan birokrasi rumit jadi ringkas dan mudah.

Mereka harus menggandeng Kementerian Keuangan yang berperan dalam memangkas perpajakan, dan Kementerian Dalam negeri yang harus memudahkan proses perizinan dan menghilangkan retribusi.

"Jika ini dilaksanakan, tidak perlu lagi UU Cipta Kerja yang bikin rusuh negara. Cukup Kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Menteri (Kepmen)," tuntas Erwin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau