Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Deddy Herlambang
Pengamat Transportasi

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN)

Pemahaman Keliru Sistem Bus Rapid Transit

Kompas.com - 20/09/2020, 15:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP kota di Indonesia tengah demam sistem operasi bus sebagai angkutan massal perkotaan atau urban buses dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT).

Awal mula keberhasilan DKI Jakarta menata angkutan umum massal dengan konsep BRT,  diikuti oleh kota-kota besar lain di Indonesia.

Kota-kota ini mengadopsi nama yang sama persis dengan Bus TransJakarta yang dioperasikan oleh PT Transportasi Jakarta (BUMD).

Mereka pun mengklaim memiliki jaringan BRT. Sebut saja Bogor dengan TransPakuan, Solo dengan Batik SoloTrans, dan Semarang dengan TransSemarang.

Menyusul kemudian Yogyakarta dengan TransJogja, TransMetro di Bandung, TransMusi di Palembang, TransPadang di Padang, TransMamminasata di Makassar, Trans Bandar Lampung, Trans Sarbagita Denpasar, BRTS Medan, dan Suroboyo Bus.

Selain kota-kota tersebut, masih banyak kota lain yang sudah mengajukan proposal ke Direktorat Perhubungan Darat untuk perizinan sistem BRT demi memperoleh subsidi.

Namun sayangnya, konsep BRT yang dilaksanakan dan diusulkan sejumlah daerah tersebut berbeda dengan sistem BRT yang terdapat di DKI Jakarta.

BRT Jakarta adalah sebuah konsep rapid, yakni berjalan di lajur khusus tidak bercampur oleh kendaraan lain sehingga waktu perjalanan dapat diukur dan terjadwal.

Lajur bus BRT ini kita kenal dengan busway atau bus lane. Saat awal dioperasikan di Jakarta, BRT TransJakarta ini malah terkenal dengan nama busway, bukan bus TransJakarta.

Mengapa terkenal dengan busway? Karena memang busnya berjalan di lajur khusus yang oleh Pemprov DKI dinamakan busway dalam kampanye saat awal BRT beroperasi.

Gagasan sistem BRT Jakarta tercetus sejak 2001 ketika Pemprov DKI studi banding ke TransMilenio Bogota Kolombia.

Kemudian Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso saat itu mengusulkan sistem BRT tersebut dioperasikan di Jakarta.

Tahun 2002 gagasan BRT Jakarta masuk dalam Business Plan Jakarta Busway dan akhirnya diresmikan pada 15 Januari 2004.

BRT Jakarta merupakan BRT pertama di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Hingga September 2020 telah ada 13 koridor (belum termasuk rencana penambahan 2 koridor), dengan panjang 230,9 kilometer, dilengkapi 243 halte, dan lebih dari 1347 sarana bus.

Kini PT Transportasi Jakarta mengklaim diri memiliki BRT terbesar dibanding BRT kota lain di dunia.

Busway sebagai right of way BRT Jakarta berhasil mengajak pengguna kendaraan pribadi beralih ke kendaaraan umum massal.

Sebelum pandemi Covid-19, BRT TransJakarta mampu menggangkut 900.000 hingga 1.000.000 penumpang per hari.

Target Badan Pengatur Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Tahun 2029 modal share pengguna angkutan umum adalah 60 persen. Angka eksisting masih 16-20 persen pengguna angkutan umum di DKI Jakarta.

Artinya masih memerlukan kebijakan kreatif push and pull lagi agar publik beralih ke transportasi umum agar mencapai 60 persen dari total semua pengguna jalan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau