Sistem Bus TransJakarta dimodelkan seperti sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia.
Gubernur DKI Jakarta meletakkan tanggung jawab pembangunan fisik infrastrukturnya kepada Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
Kemudian saat awal dioperasikan Badan Pengelola (BP) TransJakarta berada di bawah Gubernur langsung dengan Kepala BP pertama Irzal Jamal.
BP ini tidak bertahan, 2006 berganti menjadi Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta. Namun BLU belum genap 6 tahun, berganti baju pada tahun 2011-2013 menjadi Unit Pengelola (UP).
Nyatanya UP malah mengkerdilkan tata kelola TransJakarta. Akhirnya pada 2014 berdirilah BUMD PT Transportasi Jakarta dengan kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta.
BUMD ini dituntut mandiri dan professional namun tetap memperoleh subsidi dari Pemprov DKI melalui skema Public Service Obligation (PSO) untuk menekan tarif flat dalam transit sistem.
Konsep BRT ini dinilai benar dan tepat karena menggunakan sistem transit dengan tarif flat. BRT sebagai jalur trunk (utama), didukung dengan sistem feeder (pengumpan) masuk trayek menuju kawasan-kawasan di sekitarnya (pola pergerakan transitnya seperti pola “duri ikan”) .
Feeder tersebut dinamakan Mikrotrans dan Metrotrans (non BRT) atau terkenal dengan bus low deck.
BRT pertama kali digunakan dalam skala besar di Curitiba (Brazil) pada tahun 1974. Dari pengalaman Curitiba, kemudian banyak kota dunia mengembangkannya dengan sistem serupa.
Sebelumnya, pada tahun 1970-an, pengembangan sistem BRT terbatas di Amerika Utara dan Selatan.
Baru kemudian pada akhir tahun 1990-an, reproduksi konsep BRT mulai tumbuh kembali dan dibuka di Quito, Ekuador pada tahun 1996, Los Angeles, AS, pada tahun 1999, dan Bogota, Kolombia, pada tahun 2000.
Proyek TransMilenio di Bogota mulai beroperasi pada tahun 2000 dan keberhasilannya telah menarik perhatian masyarakat internasional sebagai contoh sistem BRT.
Saat ini, terdapat 70 sistem BRT yang telah berhasil di dunia. Termasuk sistem BRT di Nagoya-Jepang dan Taipei-Taiwan yang telah dianggap sebagai sistem yang relatif lengkap di kawasan Asia.
Ambiguitas pemahaman BRT di beberapa kota di Indonesia, termasuk pemerintah sendiri karena salah satu teori diambil dari buku “Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta” (Save M. Dagun, 2006: Pustaka Harapan, Jakarta).
Dalam buku tersebut menyatakan bahwa BRT meliputi bus besar yang beroperasi di jalan raya bersama-sama lalu lintas umum (mixed traffic), atau dipisahkan dari lalu lintas umum dengan marka (bus lanes), atau dioperasikan pada lintasan khusus (busways).
Mulai dari pendapat psikolog inilah maka masyarakat termasuk mahasiswa/pelajar menyakini bahwa BRT itu dapat berjalan di jalan umum bercampur dengan kendaraan lain (mixed-traffic).
Jadi dari sinilah pemahaman BRT blunder seakan-akan dapat berjalan di jalan umum (campur).
Memang BRT tidak selalu berjalan di lajur sendiri, adakalanya bercampur dengan kendaraan lain bila memang ditemukan ruang milik jalan (rumija) sempit.
Kriteria jalur khusus BRT atau busway dedicated harus ada minimal panjang 3 kilometer tiap koridor pada ruas jalan yang padat lalu lintasnya (penilaian BRT standar internasional, 2016 ).