JAKARTA, KOMPAS.com - Bandung memang memiliki ciri khas yang lain dibandingkan kota-kota besar di Indonesia.
Di kota inilah, paduan bentuk dan gaya arsitektur Belanda dengan China maupun Islam banyak digunakan.
Tempat ini pun pernah menjadi surga bagi para arsitek. Nama-nama arsitek tersohor seperti Wolff dan RLA Schoemaker, Van Galeb Last, Thomas Karsten, Ed Cuypers, atau Maclaine Pont pernah menorehkan karya di kota ini.
Bangunan berarsitektur kolonial pun masih ada hingga sekarang, salah satunya adalah Gedung Sate yang saat ini sudah berusia tepat 100 tahun.
Pada mulanya gedung ini merupakan Kantor Departement Verkeer en Waterstaat (Departemen Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum).
Kemudian sempat menjadi pusat pemerintahan Gouvernements Bedrijven (Hindia Belanda), dan akhirnya kembali dipakai sebagai Kantor Jawatan Pekerjaan Umum.
Bangunan ini digunakan sebagai markas Divisi India ke-23 berkekuatan 2400 tentara yang ditempatkan di Jawa Barat.
Gedung Sate juga pernah digunakan sebagai tempat negosiasi terakhir antara Mayor Jenderal Hawthorn dari pihak Sekutu dan Mayor Jenderal Didi Kartasasmita dan Sjafrudin Prawiranegara mengenai batas akhir ultimatum kedua, yang disampaikan Sekutu agar masyarakat meninggalkan Bandung.
Baca juga: Menikmati Loji Gandrung Sepeninggal Jokowi
Pasca kemerdekaan, bangunan ini pernah menjadi gudang arsip Departemen PU. Kini, Gedung Sate menjadi Kantor Gubernur Jawa Barat dan merupakan salah satu tengara di Kota Bandung.
Pembangunan Gedung Sate beserta beberapa bangunan lainnya seperti Vila Isolla tak terlepas dari era kebangkitan dunia arsitektur di Kota Bandung.
Pembangunannya dimulai pada 27 Juli 1920 yang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Johanna Catherina Coops, putri Wali Kota Bandung B Coops, dan Gubernur Jenderal di Batavia yang diwakili Petronella Roelofsen.
Pembangunan Gedung Sate awalnya dilaksanakan sebagai rencana besar pembangunan Kota Bandung secara menyeluruh.
Baca juga: Biro Arsitektur Bandung Jadi Finalis Penghargaan Dunia
Saat ini masyarakat lebih senang menyebutnya sebagai Gedung Sate, sebab terdapat enam tusuk bulatan menyerupai sate pada puncak menara gedung.
Keenam bulatan tersebut sebenarnya menunjukkan besarnya biaya pembangunan gedung yang mencapai enam juta gulden.
Langgam arsitektunya memadukan aliran Moor yang bergaya Spanyol dengan gaya arsitektur Indonesia.
Misalnya bagian atap gedung yang dirancang dengan tiga tingkat atau tumpukan piramid dengan jumlah ganjil dengan ukuran semakin ke atas semakin kecil, disebut mirip dengan meru di Bali.
Baca juga: Sejarah Ombilin Sawahlunto, dari Kota Tambang Jadi Situs Warisan Dunia
Terutama karena letaknya yang sengaja cukup jauh dari jalan raya serta keberadaan pintu gerbang lebar yang memperlihatkan kemegahan bangunan.
Keunikan lainnya terletak pada fondasi bangunan. Batu fondasi yang digunakan adalah batu bulat bertautan yang dibawa dari daerah Arcamanik dan Manglayang.
Fondasi batu di Gedung Sate sengaja dibuat menjadi bulat agar dapat menyesuaikan diri dan tetap stabil saat terjadi gempa bumi.
Pemberitaan Harian Kompas 2 Januari 2010 menyebutkan, selama konstruksi, pengerjaan Gedung Sate melibatkan sekitar 2.000 pekerja.
Baca juga: Sejarah Sarinah, Mal dan Pencakar Langit Pertama di Indonesia
Konstruksinya sendiri diselesaikan pada September 1924. Semula, Gedung Sate terdiri dari gedung utama dan gedung di samping timur untuk Kantor Pusat Post Telefoon en Telegraaf.
Lalu pada tahun 1980, gedung utama dipakai sebagai Kantor Gubernur Jabar dan gedung samping timur menjadi Museum Pos.
Selanjutnya pada tahun 1977, terdapat penambahan gedung di sisi samping barat yang digunakan sebagai kantor DPRD Jawa Barat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.