Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius Untung S
Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Mempertanyakan "New Normal" (I)

Kompas.com - 29/04/2020, 21:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sejatinya segala kebiasaan dengan perubahan yang demikian drastis, didorong oleh program utama otak manusia, yaitu survival.

Kita akan melakukan apap un yang dibutuhkan untuk dapat bertahan. Jika dalam dunia bisnis dan marketing kita selalu berbicara soal need and want, pada fase ini motivasi masyarakat didorong dengan jauh lebih kuat oleh driver  yang lebih powerful, yaitu anxiety.

Need and want seringkali dianggap sebagai pendorong paling kuat dari apa pun yang kita lakukan karena begitu eksplisit.

Need  atau kebutuhan walaupun sangat faktual sering kali kalah oleh want atau keinginan. Maka dari itu, kita seringkali membeli barang yang kita mau walaupun sebenarnya tidak butuh.

Layaknya gunung es, need and want berada di atas lapisan permukaan laut terlihat besar karena nampak di depan mata.

Padahal bagian dari gunung es yang berada di bawah permukaanlah yang lebih besar. Dan bagian besar yang berada di bawah permukaan laut inilah yang sering digambarkan sebagai pain, fear dan anxiety.

Pain jauh lebih kuat dibanding want, terbukti dengan bagaimana kita tidak memikirkan apa yang diinginkan ketika sedang mengalami pain.

Orang yang patah hati mendadak tidak suka makan, kita merasa tidak butuh makan, dan tidak menginginkan makanan apapun.

Bahkan kita sering menggunakan selera makan yang mulai kembali sebagai indikasi bahwa seseorang yang sakit fisik sudah mulai pulih dari sakitnya sehingga mulai punya kemauan.

Di tingkat intensitas yang lebih tinggi dari pain, ada fear. Pain menjadi tidak sebegitu mengerikannya ketimbang fear  karena sudah terjadi.

Sementara fear terasa lebih besar intensitasnya seiring dengan gambaran bentukan dari pikiran kita yang mencoba memikirkan hal buruk yang mungkin terjadi sebagai satu konsekuensi dari program otak untuk dapat bertahan.

Jika pain terasa begitu menyakitkan, maka fear membawa kita pada bayangan apa yang lebih buruk yang bisa terjadi kepada karena belum terjadi sehingga segala kemungkinan masih terbuka.

Ketika fear hadir begitu konstan dalam rentang waktu yang lama, maka muncullah “raja terakhir”-nya, yaitu anxiety.

Dua level terakhir (fear and anxiety) menjadi sebegitu mengerikan karena kita kehilangan kontrol terhadap apa yang mungkin bisa terjadi.

Wabah Covid-19 ini bukan hanya membangkitkan pain bagi kita, tapi juga fear dan bahkan anxiety. Semua kebiasaan baru yang kita adopsi dalam waktu singkat ini terjadi karena hadirnya dua hal ini.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com