Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius Untung S
Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Praktisi Neuromarketing dan Behavioral Science

Mempertanyakan "New Normal" (I)

Kompas.com - 29/04/2020, 21:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

COVID-19 terbukti punya dampak yang begitu sistemik, bukan hanya dari sisi kesehatan tapi juga perekonomian.

Ketika miliaran orang di seluruh dunia mengurangi aktivitasnya dan menghabiskan hampir dari seluruh waktunya di rumah, maka roda ekonomi pun melambat.

Kita pun dipaksa untuk memiliki kebiasaan baru; yang dulunya menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi, kini mulai fasih berbelanja online.

Jika sebelumnya menggunakan laptop hanya untuk membuka aplikasi perkantoran, kini khatam menuntun anaknya bersekolah dengan layanan kelas daring dan konferensi video.

Bahkan dalam hal transaksi yang sebelumnya menggunakan uang tunai, kini lazim memanfaatkan dompet elektronik.

Melalui ancaman mematikannya, Covid-19 berhasil membuat mereka gaptek menjadi jauh lebih fasih berdigital, mengurung diri secara sukarela traveler sejati, dan membuat banyak orang yang tak peduli kesehatan untuk cuci tangan lebih sering.

Kengerian yang disebarkan Corona ini juga yang membuat banyak orang memiliki kebiasaan baru.

Mulai dari kebiasaan mengonsumsi buah, ramuan traditional (jamu) dan suplemen kesehatan dengan lebih rutin, berolahraga di rumah, masak makanan sendiri di rumah, hingga kebiasaan berdoa bersama keluarga di rumah.

Bagi banyak orang, ini mungkin pertama kalinya kita membiasakan langsung mandi dan mencuci baju seketika masuk rumah sepulang bepergian dari luar.

Kebiasaan-kebiasaan baru ini yang sering disebut sebagai new normal, atau kebiasaan baru yang awalnya tidak biasa, namun kemudian menjadi kenormalan baru.

Berbagai pemikiran dan artikel mengenai prediksi new normal baru (fase 2) yang akan datang setelah new normal periode isolasi ini mulai banyak beredar.

Tidak sedikit yang meramalkan bahwa kebiasaan baru yang terbentuk pada fase isolasi ini akan terbawa ketika kita sudah mulai keluar rumah dan beraktivitas.

Dan harapannya brand-brand yang kita kelola juga ikut terus terbawa sebagai bagian dari kebiasaan yang baru (jika memang kebiasaan baru itu benar akan terbentuk).

Saya pun mengamini sebagian dari prediksi-prediksi tersebut, walaupun ada beberapa prediksi yang terlihat tidak berdasar karena luput dari pengertian menyeluruh mengenai bagaimana manusia membentuk kebiasaan.

Fear and Anxiety

New Normal; Need, Want, Pain, Fear, and AnxietyHandsout New Normal; Need, Want, Pain, Fear, and Anxiety
Sejatinya segala kebiasaan dengan perubahan yang demikian drastis, didorong oleh program utama otak manusia, yaitu survival.

Kita akan melakukan apap un yang dibutuhkan untuk dapat bertahan. Jika dalam dunia bisnis dan marketing kita selalu berbicara soal need and want, pada fase ini motivasi masyarakat didorong dengan jauh lebih kuat oleh driver  yang lebih powerful, yaitu anxiety.

Need and want seringkali dianggap sebagai pendorong paling kuat dari apa pun yang kita lakukan karena begitu eksplisit.

Need  atau kebutuhan walaupun sangat faktual sering kali kalah oleh want atau keinginan. Maka dari itu, kita seringkali membeli barang yang kita mau walaupun sebenarnya tidak butuh.

Layaknya gunung es, need and want berada di atas lapisan permukaan laut terlihat besar karena nampak di depan mata.

Padahal bagian dari gunung es yang berada di bawah permukaanlah yang lebih besar. Dan bagian besar yang berada di bawah permukaan laut inilah yang sering digambarkan sebagai pain, fear dan anxiety.

Pain jauh lebih kuat dibanding want, terbukti dengan bagaimana kita tidak memikirkan apa yang diinginkan ketika sedang mengalami pain.

Orang yang patah hati mendadak tidak suka makan, kita merasa tidak butuh makan, dan tidak menginginkan makanan apapun.

Bahkan kita sering menggunakan selera makan yang mulai kembali sebagai indikasi bahwa seseorang yang sakit fisik sudah mulai pulih dari sakitnya sehingga mulai punya kemauan.

Di tingkat intensitas yang lebih tinggi dari pain, ada fear. Pain menjadi tidak sebegitu mengerikannya ketimbang fear  karena sudah terjadi.

Sementara fear terasa lebih besar intensitasnya seiring dengan gambaran bentukan dari pikiran kita yang mencoba memikirkan hal buruk yang mungkin terjadi sebagai satu konsekuensi dari program otak untuk dapat bertahan.

Jika pain terasa begitu menyakitkan, maka fear membawa kita pada bayangan apa yang lebih buruk yang bisa terjadi kepada karena belum terjadi sehingga segala kemungkinan masih terbuka.

Ketika fear hadir begitu konstan dalam rentang waktu yang lama, maka muncullah “raja terakhir”-nya, yaitu anxiety.

Dua level terakhir (fear and anxiety) menjadi sebegitu mengerikan karena kita kehilangan kontrol terhadap apa yang mungkin bisa terjadi.

Wabah Covid-19 ini bukan hanya membangkitkan pain bagi kita, tapi juga fear dan bahkan anxiety. Semua kebiasaan baru yang kita adopsi dalam waktu singkat ini terjadi karena hadirnya dua hal ini.

Belum adanya obat dan vaksin membuat sense of losing control menjadi semakin kuat, terlebih lagi ketika wabah yang sangat mengancam jiwa tersebut tidak bisa kita lihat.

Hal yang sama dengan bagaimana kita takut akan roh halus yang tidak terlihat dan kita tidak tahu apa yang mereka bisa lakukan.

Maslow Hierarchy of Needs

Maslows Hierarchy of NeedsHandsout Maslows Hierarchy of Needs
Psikolog terkenal, Abraham Maslow memperkenalkan piramida kebutuhan manusia yang menempatkan kebutuhan fisiologis yang termasuk makan, minum, tidur, dan seks di dasar piramid.

Semakin ke atas bentuk kebutuhannya semakin abstrak seperti kebutuhan keamanan, kebutuhan untuk bersosialisasi, self esteem dan self actualization.

Sebagian besar dari kita hidup dengan memenuhi kebutuhan yang ada di dasar piramid dan ketika kebutuhan tersebut terisi, maka kita pun mulai memikirkan kebutuhan yang di atasnya hingga pada akhirnya kita bisa memenuhi seluruh level hingga paling atas.

Bagi sebagian besar manusia, atau pada normalnya, kita tidak akan mengejar kebutuhan pada level yang di atas tanpa sebelumnya memenuhi level yang ada di bawahnya.

Maka dari itu gelandangan tidak berpikir untuk mengejar self esteem atau self actualization. Tak heran jika kita begitu benci melihat orang yang secara ekonomi masih kesulitan namun hidup penuh gaya.

Mereka yang tadinya hidup glamor dengan pencitraan yang bergengsi bisa tiba-tiba rela kehilangan muka ketika mendadak miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Apapun dilakukan untuk memastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi dulu.

Hal yang sama pun terjadi pada masa ini, Pandemi Covid-19 mengancam kebutuhan dasar kita.

Kita merasa menjadi tidak aman, dan bahkan lebih parah lagi melimpah ruahnya kekayaan kita pun menjadi tidak ada artinya jika tidak ada ketersediaan bahan pangan untuk dibeli.

Maka kita pun mulai “menjarah” supermarket dengan kekayaan kita, panic buying, walaupun dengan konsekuensi turunnya self esteem kita ke taraf yang sulit dipulihkan dalam waktu cepat.

“Bodo amat, yang penting aman dulu” begitu pikir kita.

 

Bersambung

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Banjarnegara: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Banjarnegara: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kota Banjar: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kota Banjar: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Sukabumi: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Sukabumi: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Surat Edaran Prototipe Rumah Sederhana Segera Terbit

Surat Edaran Prototipe Rumah Sederhana Segera Terbit

Berita
Segudang Keuntungan Gunakan Wastafel 'Stainless Steel' di Dapur

Segudang Keuntungan Gunakan Wastafel "Stainless Steel" di Dapur

Tips
Lima Tahun ke Depan, Pertumbuhan 'Crazy Rich' Indonesia Lampaui Dunia

Lima Tahun ke Depan, Pertumbuhan "Crazy Rich" Indonesia Lampaui Dunia

Berita
Incar Mahasiswa dan Turis, Winland Tawarkan Hunian Rp 300 Juta di Malang

Incar Mahasiswa dan Turis, Winland Tawarkan Hunian Rp 300 Juta di Malang

Apartemen
Mulai Tahun Ini, Tarif Sewa Gedung Kantor di Jakarta Naik 3 Persen

Mulai Tahun Ini, Tarif Sewa Gedung Kantor di Jakarta Naik 3 Persen

Perkantoran
186.000 Hektar Hutan Adat di Tapanuli Utara dan Luwu Utara Diregistrasi

186.000 Hektar Hutan Adat di Tapanuli Utara dan Luwu Utara Diregistrasi

Berita
4,39 Juta Orang Naik Kereta Selama 22 Hari Angkutan Lebaran 2024

4,39 Juta Orang Naik Kereta Selama 22 Hari Angkutan Lebaran 2024

Berita
Ditarget Tuntas Oktober, Ini Progres Bendungan Bolango Ulu di Gorontalo

Ditarget Tuntas Oktober, Ini Progres Bendungan Bolango Ulu di Gorontalo

Berita
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Cianjur: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Cianjur: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bandung: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bandung: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Sertifikat Elektronik Persempit Ruang Gerak Mafia Tanah

Sertifikat Elektronik Persempit Ruang Gerak Mafia Tanah

Berita
[POPULER PROPERTI] Mei 2024, Tol Betung-Tempino-Lencir Mulai Dibangun

[POPULER PROPERTI] Mei 2024, Tol Betung-Tempino-Lencir Mulai Dibangun

Berita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com