Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Djoko Setijowarno
Akademisi

Peneliti Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata

Menanti Keputusan Mudik dan Transportasi Online yang Jadi Beban Negara

Kompas.com - 27/03/2020, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bukan menjadi tanggung jawab negara dengan membebankan APBN. Perlu dievaluasi keberlangsungan bisnis transportasi online di Indonesia, apakah perlu diteruskan jika nantinya terus membebani negara. 

Kajian dari Balitbang Perhubungan (2019), hanya 18 persen pengemudi ojol yang sebelumnya pengangguran. Sedangkan kajian yang dilakukan Institut Transportasi Instran (Instran) 5 persen.

Penulis sering berdiskusi dengan pengemudi taksi online dan pengemudi ojol, belum pernah menemukan pengemudi yang sebelumnya berpredikat pengangguran.

Yang ditemukan adalah pengalihan pekerjaan atau profesi. Dengan harapan, menjadi pengemudi transportasi online, kehidupannya menjadi lebih baik.

Kenyataannya, berkebalikan dengan harapan mereka, menjadi ketidakpastian, bahkan banyak yang terpuruk ekonominya serta jatuh miskin.

Tidak sanggup menuruti permainan bisnis industri transportasi online sebagai mitranya berbisnis.

Sesungguhnya, bisnis transportasi online dapat mengurangi pengangguran tidak terbukti. Namun sebaliknya, sekarang telah menjadi beban negara.

Kepada para pengemudi transportai online, seyogyanya bantuan pemerintah bukan berupa uang.

Namun cukup insentif penundaan pembayaran angsuran mobil dan sepeda motor, sebagaimana yang sudah diungkapkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Sementara untuk bantuan berupa uang tunai atau cash agar dibebankan kepada pemilik aplikasi (Grab dan Gojek).

Pasalnya, kedua perusahaan tersebut sudah mendapatkan suntikan dana segar dari investor yang nilainya sangat besar. Hitung-hitung membakar modal lagi.

Sekali lagi, Indonesia harus belajar dengan Korea Selatan yang berhasil mengembangkan bisnis transportasi online tanpa mengorbankan bisnis transportasi reguler.

Ketika wabah virus corona merebak, para pengemudi transportasi online tidak menjadi beban negara, seperti halnya di Indonesia sekarang ini.

Pendapatan pengemudi taksi reguler (konvensional) dan pengemudi ojek pangkalan (opang) juga menurun, imbas dari merebaknya wabah virus corona, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Kedua bisnis transportasi ini sudah lebih dulu melayani masyarakat. Dan selama ini terbukti tidak terlalu banyak merepotkan pemerintah.

Pengemudi transportai online di Indonesia disetarakan warga miskin yang perlu dibantu kelangsungan hidupnya.

Sungguh miris, warga miskin di Indonesia kian bertambah akibat pemerintah salah mendukung model bisnis IT di sektor transportasi yang sedang berkembang.

 

 

Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat dan Felix Iryantomo Peneliti Senior Institut Studi Transportasi (Instran)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau