Visi Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (Ripnas) 2030 sebagai mandat UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkertaapain adalah menggeser pola pilihan angkutan orang dan barang dengan menggunakan kereta api (KA).
Dalam Ripnas target pasar angkutan penumpang pada tahun 2030 adalah sebesar 11 persen hingga 13 persen atau 660 juta orang dari 6,7 persen (202 juta orang) pada tahun 2009.
Kereta api diharapkan akan mengangkut 275 juta orang per tahun di 15 wilayah perkotaan. Target ini sangatlah kecil, ini pasti terlampaui.
Ripnas sudah 6 tahun berlalu, saatnya mengevaluasi pencapaian mandat yang terkandung di dalam dokumen kebijakan ini.
Sasaran 2030 angkutan barang sebesar 15 persen-17 persen (4,4 miliar ton) kurang dari 1 persen (18,95 juta ton) pada tahun 2009.
Total biaya perwujudan implementasi Ripnas diperkirakan menelan biaya Rp 877 triliun, dan diharapkan 70 persen pendanaan berasal dari entitas swasta. Sejumlah renana jaringan rel baru pun akan dibangun di seluruh pulau di tanah air.
Evaluasi Ripnas jangan hanya menjadi naskah Rencana Induk KA ala Dewan Jawatan Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan, melainkan harus menjadi versi modernisasi KA versi NKRI, yang isinya realistis dan dimaklumi para pemangku kepentingan.
Apapun targetnya kapasitas lembaga publik perkeretaapian dan kapasitas industri perkeretaapian menjadi modal utama untuk merealisasikan Ripnas.
Krusial
Isu yang paling krusial adalah terkait pengembangan kapasitas track. Jika benar-benar ingin mengembangkan multioperator, maka hal pertama yang harus diatur adalah pengaturan slot waktu pemakaian rel.
Selain itu, untuk mengantisipasi tantangan urbanisasi masa depan, satu agenda yang sangat penting yang harus ditangani adakah spin off pengelolaan kereta api perkotaan metropolitan seperti kereta komuter Jabodetabek.
Kini aset-aset baru KA segera dioperasikan di Jabodetabek seperti light rail transit (LRT) dan khususnya Kereta Bandara. Karena melewati track yang sama Kereta Bandara akan berbagi kapasitas track dengan KRL commuter line. Keduanya akan bergantian lewat pada kapasitas track yang sangat terbatas.
Di pihak lain kereta komuter juga punya target angkutan, begitu pun KA Bandara. Keduanya adalah anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Jika perusahaan di satu induk saja bisa memicu konflik, dapat dibayangkan bagaimana jika multi operator mau diterapkan, bisakah diatur secara adil, bila tidak difasilitasi dengan badan regulator yang bisa menengahi konflik ?