Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengevaluasi Enam Tahun Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030

Dalam Ripnas target pasar angkutan penumpang pada tahun 2030 adalah sebesar 11 persen hingga 13 persen atau 660 juta orang dari 6,7 persen (202 juta orang) pada tahun 2009.

Kereta api diharapkan akan mengangkut 275 juta orang per tahun di 15 wilayah perkotaan. Target ini sangatlah kecil, ini pasti terlampaui.

Ripnas sudah 6 tahun berlalu, saatnya mengevaluasi pencapaian mandat yang terkandung di dalam dokumen kebijakan ini.

Sasaran 2030 angkutan barang sebesar 15 persen-17 persen (4,4 miliar ton) kurang dari 1 persen (18,95 juta ton) pada tahun 2009.

Total biaya perwujudan implementasi Ripnas diperkirakan menelan biaya Rp 877 triliun, dan diharapkan 70 persen pendanaan berasal dari entitas swasta. Sejumlah renana jaringan rel baru pun akan dibangun di seluruh pulau di tanah air.

Evaluasi Ripnas jangan hanya menjadi naskah Rencana Induk KA ala Dewan Jawatan Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan, melainkan harus menjadi versi modernisasi KA versi NKRI, yang isinya realistis dan dimaklumi para pemangku kepentingan.

Apapun targetnya kapasitas lembaga publik perkeretaapian dan kapasitas industri perkeretaapian menjadi modal utama untuk merealisasikan Ripnas.

Krusial

Isu yang paling krusial adalah terkait pengembangan kapasitas track. Jika benar-benar ingin mengembangkan multioperator, maka hal pertama yang harus diatur adalah pengaturan slot waktu pemakaian rel.

Selain itu, untuk mengantisipasi tantangan urbanisasi masa depan, satu agenda yang sangat penting yang harus ditangani adakah spin off pengelolaan kereta api perkotaan metropolitan seperti kereta komuter Jabodetabek.

Kini aset-aset baru KA segera dioperasikan di Jabodetabek seperti light rail transit (LRT) dan khususnya Kereta Bandara. Karena melewati track yang sama Kereta Bandara akan berbagi kapasitas track dengan KRL commuter line. Keduanya akan bergantian lewat pada kapasitas track yang sangat terbatas.

Di pihak lain kereta komuter juga punya target angkutan, begitu pun KA Bandara. Keduanya adalah anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Jika perusahaan di satu induk saja bisa memicu konflik, dapat dibayangkan bagaimana jika multi operator mau diterapkan, bisakah diatur secara adil, bila tidak difasilitasi dengan badan regulator yang bisa menengahi konflik ?

Kita belum tegas memisahkan peran dalam mengelola aset ini. Sebenarnya pemerintah punya otoritas, jika ingin memisahkan semua aset prasarana eksisting kepada KAI, bisa dilakukan lengkap dengan segala rupa kewajiban yang akan menjadi tanggung jawab BUMN ini.

Sayangnya, selama ini yang terjadi adalah seolah-olah semua aset baru KA dibebankan kembali kepada KAI untuk mengelolanya. Sementara, pemerintah lemah dan enggan membidani lahirnya operator-operator baru perkeretaapian. Rupa-rupa penugasan jatuhnya balik lagi ke KAI.

KA Perkotaan

Masalah krusial lain adalah menyangkut KA perkotaan, dan Public Service Obligation (PSO) berupa  penugasan angkutan bersubsidi. Alokasi PSO dengan tiket relatif murah, selama ini dinilai tidak tepat sasaran.

Ke depannya, bagi yang menunjukkan syarat inilah yang menjadi sasaran subsidi mereka dibolehkan memperoleh karcis langganan, bukan mereka yang sudah berkemampuan.

Dengan begitu, anggaran PSO ke depan dapat dikurangi. Biar orang Papua tidak ikut menyubsidi orang Jakarta. Saat ini subsidi tersu membengkak hingga mencapai Rp 2 triliun dan hampir 70 persen subsidi PSO ada di Jabodetabek. Transjakarta saja hingga saat Ini sudah menerima subsidi tahunan sebesar Rp 3,3 trilliun.

Dalam waktu tidak lama lagi, ranjau subsidi (trap) untuk semua sistem KA dan angkutan umum di Jabodetabek berpotensi mencapai Rp 15 triliun-Rp 20 trilliun. Bila tidak ada inovasi dari pemerintah dan operator untuk melakukan upaya terobosan dan efisiensi secara mendasar, akan menjadi bom waktu.

https://properti.kompas.com/read/2017/12/06/111731121/mengevaluasi-enam-tahun-rencana-induk-perkeretaapian-nasional-2030

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke