Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengevaluasi Enam Tahun Rencana Induk Perkeretaapian Nasional 2030

Kompas.com - 06/12/2017, 11:17 WIB
Harun Alrasyid Lubis

Penulis

Visi Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (Ripnas) 2030 sebagai mandat UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkertaapain adalah menggeser pola pilihan angkutan orang dan barang dengan menggunakan kereta api (KA). 

Dalam Ripnas target pasar angkutan penumpang pada tahun 2030 adalah sebesar 11 persen hingga 13 persen atau 660 juta orang dari 6,7 persen (202 juta orang) pada tahun 2009.

Kereta api diharapkan akan mengangkut 275 juta orang per tahun di 15 wilayah perkotaan. Target ini sangatlah kecil, ini pasti terlampaui.

Ripnas sudah 6 tahun berlalu, saatnya mengevaluasi pencapaian mandat yang terkandung di dalam dokumen kebijakan ini.

Sasaran 2030 angkutan barang sebesar 15 persen-17 persen (4,4 miliar ton) kurang dari 1 persen (18,95 juta ton) pada tahun 2009.

Total biaya perwujudan implementasi Ripnas diperkirakan menelan biaya Rp 877 triliun, dan diharapkan 70 persen pendanaan berasal dari entitas swasta. Sejumlah renana jaringan rel baru pun akan dibangun di seluruh pulau di tanah air.

Petugas mendapati pemuda yang iseng meletakkan batu di atas rel. Perbuatan pemuda itu dinilai membahayakan perjalanan kereta api. Dokumentasi Humas PT KAI Daops IX Jember Petugas mendapati pemuda yang iseng meletakkan batu di atas rel. Perbuatan pemuda itu dinilai membahayakan perjalanan kereta api.
Evaluasi Ripnas harus mendapat masukan dari beragam institusi publik yang terkait dengan perkeretaapian seperti Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Bappenas, dan juga dari industri dan swasta.

Evaluasi Ripnas jangan hanya menjadi naskah Rencana Induk KA ala Dewan Jawatan Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan, melainkan harus menjadi versi modernisasi KA versi NKRI, yang isinya realistis dan dimaklumi para pemangku kepentingan.

Apapun targetnya kapasitas lembaga publik perkeretaapian dan kapasitas industri perkeretaapian menjadi modal utama untuk merealisasikan Ripnas.

Krusial

Isu yang paling krusial adalah terkait pengembangan kapasitas track. Jika benar-benar ingin mengembangkan multioperator, maka hal pertama yang harus diatur adalah pengaturan slot waktu pemakaian rel.

Keramaian penumpang KRL commuter line di peron Stasiun Duri, Jakarta Barat, Kamis (17/8/2017). Perjalanan gratis ini diberlakukan dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan ke-72 Republik Indonesia.KOMPAS.com / ANDRI DONNAL PUTERA Keramaian penumpang KRL commuter line di peron Stasiun Duri, Jakarta Barat, Kamis (17/8/2017). Perjalanan gratis ini diberlakukan dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan ke-72 Republik Indonesia.
Dalam UU No 23 Tahun 2007, pembagian slot merupakan tugas pemerintah. Di sisi lain dalam UU yang sama juga menyebutkan bahwa pemerintah seharusnya hanya meregulasi tanpa perlu terlibat langsung sebagai operator atau penyedia jasa. Badan regulator KA yang berfungsi semacam wasit perlu dibuat embrionya.

Selain itu, untuk mengantisipasi tantangan urbanisasi masa depan, satu agenda yang sangat penting yang harus ditangani adakah spin off pengelolaan kereta api perkotaan metropolitan seperti kereta komuter Jabodetabek.

Kini aset-aset baru KA segera dioperasikan di Jabodetabek seperti light rail transit (LRT) dan khususnya Kereta Bandara. Karena melewati track yang sama Kereta Bandara akan berbagi kapasitas track dengan KRL commuter line. Keduanya akan bergantian lewat pada kapasitas track yang sangat terbatas.

Di pihak lain kereta komuter juga punya target angkutan, begitu pun KA Bandara. Keduanya adalah anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Jika perusahaan di satu induk saja bisa memicu konflik, dapat dibayangkan bagaimana jika multi operator mau diterapkan, bisakah diatur secara adil, bila tidak difasilitasi dengan badan regulator yang bisa menengahi konflik ?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com