"Reklamasi harus menjadi opsi terakhir. Kalau pun sudah kadung dilakukan, endapkan dulu. Karena kita juga harus memikirkan bagaimana caranya membongkar laut yang sudah diuruk pasir, ke mana membuangnya. Itu menjadi masalah baru lagi. Kaji lagi," saran Andy.
Yang harus dilakukan pemerintah cuma satu yakni mendesentralisasikan fungsi Jakarta. Adapun fungsi yang sebaiknya didistribusikan secara merata ke daerah-daerah adalah fungsi pendidikan, fungsi industri yang didukung infrastruktur kepelabuhanan, dan fungsi aktivitas pemerintahan.
"Semua itu jangan lagi terkonsentrasi di Jakarta, tapi harus disebar, sehingga tekanan penduduk berkurang. Sekarang kan gulanya di situ-situ aja, sehingga pengusaha saat kehabisan lahan dalam pikirannya bangun pulau baru. Meski di laut tapi tetap masuk Jakarta," tutur Andy.
,Jadi, sekali lagi, menyelesaikan problema Jakarta bukan dengan reklamasi, tetapi dengan mulai mengurangi atau bahkan mencabut pusat aktivitas, ekosistemnya, dan lain sebagainya.
Pendek kata, lakukanlah desentralisai fungsi, bahwa jangan ada lagi visi "mengembangkan" Jakarta, tetapi mengendalikan, sehingga tidak ada lagi kasus membangun tanpa izin, mengangkangi ruang terbuka hijau, atau bahkan reklamasi yang labrak-labrak ketentuan.
"Apalagi 17 pulau baru ini dibungkus (menumpang) program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)," sebut Andy.
Kendati demikian, menurut Staf Khusus Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya dan Ahli Antropologi Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir reklamasi bukanlah hal baru dan tidak harus selalu dipandang negatif.
"Reklamasi tidak tabu, karena ia merupakan bagian dari revitalisasi untuk saat ini dan masa depan. Jadi, reklamasi tidak bisa dihindari karena adanya perubahan iklim," kata Kartini.
Dia melanjutkan, reklamasi merupakan pemulihan kembali, dan bisa dikatakan sebagai obat obat penawar supaya daerah menjadi baik. Kartini meminta para pihak yang kontra reklamasi untuk tidak pernah salah lagi dalam menilai reklamasi.
Pasalnya, secara konsep, reklamasi itu memang harus mengacu pada aturan hukum dan Amdal. Tidak bisa dilakukan secara asal dan sembarangan. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun aturannya secara komprehensif supaya tidak saling tumpang tindih.
Hal senada dikemukakan Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Beni Sutrisno. Menurut dia, Jakarta sangat luas atau hampir sama dengan Mexico City. Karena itu, pusat-pusat kegiatan harus dipecah agar tidak terjadi ekonomi biaya tinggi.
"Sekarang kan harga rumah saja sudah tidak masuk akal bila dibandingkan dengan pendapatan rerata warga Jakarta. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan itu ya dengan reklamasi," imbuh Beni.
Namun berbeda dengan Andy, reklamasi menurut Beni merupakan sebuah keniscayaan. Ada demand, atau kebutuhan. Sayangnya, dengan adanya moratorium menjadikan ketidakpastian bisnis. Dan ini sangat merugikan.
"Pengembang dan investor yang sudah melakukan reklamasi itu sudah menanamkan dana triliunan Rupiah, dana pihak ketiga pula. Ini kan berarti mengganggu usaha. Ini merugikan, karena kesempatan bisnis jadi hilang," jelas Beni.
"Reklamasi Teluk Jakarta jadi polemik kan karena perizinannya bermasalah dan belum ada Amdal," cetus Beni.
Atas dasar hal itu, Beni mengajak publik untuk tidak tabu membicarakan reklamasi. Karena dari sisi konsep, reklamasi bagus untuk membuat hidup menjadi lebih berkualitas.
"Semua aspek harus dibuka, jujur, dan transparan. Reklamasi juga tidak boleh eksklusif.," tandas dia.