Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengkaji Kembali Pulau Rekayasa, Mengendalikan Fungsi Jakarta

Kompas.com - 11/05/2016, 21:30 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Reklamasi Teluk Jakarta bukan sekadar penambahan 17 pulau rekayasa sebagai lahan murah yang bisa dikembangkan, bukan pula tentang penggusuran kampung nelayan, atau dampak sosial lain yang ditimbulkan. 

Reklamasi Teluk Jakarta adalah tentang bagaimana kota ini masih terjebak menjadi "gula"-nya Indonesia dan kegagapannya memaknai fungsi besar sebagai pusat segala aktivitas serta ketidakmampuan dalam mengendalikan para kapitalis yang bersembunyi di balik sorban "pembangunan".

Jakarta adalah kota yang menerus keliru dimaknai sebagai butuh "membangun". Padahal, jika mengacu pada pertumbuhannya yang kian pesat, salah satunya didorong oleh migrasi urban, seharusnya paradigma penyelenggara kotanya dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta adalah "mengendalikan".

Ketua Divisi Penelitian, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencana (IAP) yang juga seorang planolog, Henricus Andy Simarmata, mengatakan, untuk sekelas Jakarta seharusnya yang diutamakan adalah bagaimana mengendalikan pembangunan.

Bukan malah terus membangun, menggerus lahan, ruang terbuka hijau, dan dengan menghilangkan ekologi kota lainnya demi memuaskan para investor yang notabene berorientasi profit. 

"Lihat saja kawasan TB Simatupang yang sekarang mulai tampak 'rusak' akibat masifnya pembangunan perkantoran, dan properti komersial lainnya," ujar Andy kepada Kompas.com, Selasa (10/5/2016).

Meski tidak haram, tambah Andy, untuk saat ini Jakarta tidak perlu reklamasi. Yang perlu dilakukan adalah perbaikan kawasan kumuh perkotaan, melakukan urban regeneration di beberapa bagian kota, yang saat ini perlu peningkatan, memperbaiki layanan birokrasi, dan meningkatkan kualitas kota menjadi layak huni (livable city).

Akhdi martin pratama Sejumlah petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat memasang plang penghentian proyek reklamasi di Pulau C dan D pada Rabu (11/5/2016).
Ketika kota menemui kebuntuan, kata Andy, jalan pintas yang kemudian dilakukan adalah menjadikan reklamasi Teluk Jakarta sebagai solusi. Inilah yang kemudian menjadi kontroversial dan polemik yang berkepanjangan.

Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak memungkinkan lagi.

Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto, Maret 1995.

Dalam catatan Kompas, selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga dijadikan alasan untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.

Untuk memuluskan rencana tersebut, disahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.

Namun, munculnya dua kebijakan ini "menabrak" Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.

Sejak 1995 tersebut terjadi "perang" aturan antara Pemprov DKI Jakarta dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

KLH dalam berbagai kebijakannya menyebutkan bahwa reklamasi tidak layak dilakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemprov DKI Jakarta bersikeras agar reklamasi tetap dilakukan.

KOMPAS.com/KAHFI DIRGA CAHYA Aktivitas reklamasi di Pulau G, Jakarta Utara, Rabu (20/4/2016). Reklamasi oleh PT Muara Wisesa Samudera masih berlangsung meski pemerintah sudah menyepakati pemberhentian reklamasi sementara waktu.
Tahun 2003, KLH menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan.

Ketidaklayakan tersebut disampaikan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.

Surat keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI. Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN pun memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.

Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan banding atas keputusan itu, tetapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.

Kementerian Lingkungan Hidup lalu mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.

Tahun 2011, keadaan berbalik. MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) yang menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, putusan MA tersebut tidak serta-merta memuluskan rencana reklamasi.

Kompas.com/Kurnia Sari Aziza Menko Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat meninjau pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta atau Pulau D, Rabu (4/5/2016).
Untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.

Saat rencana reklamasi terkatung-katung oleh berbagai aturan yang menghadangnya, tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Perpres No 122 Tahun 2012.

Perpres mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.

Tahun 2014, Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama kembali mengukuhkan rencana reklamasi.

Izin tersebut dituangkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).

Kajian holistik

Ketika Pemerintah Pusat memutuskan penghentian sementara atau moratorium selama enam bulan untuk mengkaji kembali seluruh prosesnya baik dari segi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), regulasi, sosial, budaya, kemanfaatannya untuk kota dan warganya, serta masa depan, Andy menyatakan sangat setuju.

Dian Ardiahanni/Kompas.com Galian untuk pemasangan saluran air di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan pada Jumat (4/12/2015)
Menurut dia, untuk membuat Jakarta lebih layak huni dan sejajar dengan kota-kota internasional lainnya di dunia, tidak harus dengan reklamasi.

"Reklamasi harus menjadi opsi terakhir. Kalau pun sudah kadung dilakukan, endapkan dulu. Karena kita juga harus memikirkan bagaimana caranya membongkar laut yang sudah diuruk pasir, ke mana membuangnya. Itu menjadi masalah baru lagi. Kaji lagi," saran Andy.

Yang harus dilakukan pemerintah cuma satu yakni mendesentralisasikan fungsi Jakarta. Adapun fungsi yang sebaiknya didistribusikan secara merata ke daerah-daerah adalah fungsi pendidikan, fungsi industri yang didukung infrastruktur kepelabuhanan, dan fungsi aktivitas pemerintahan.

"Semua itu jangan lagi terkonsentrasi di Jakarta, tapi harus disebar, sehingga tekanan penduduk berkurang. Sekarang kan gulanya di situ-situ aja, sehingga pengusaha saat kehabisan lahan dalam pikirannya bangun pulau baru. Meski di laut tapi tetap masuk Jakarta," tutur Andy.

,Jadi, sekali lagi, menyelesaikan problema Jakarta bukan dengan reklamasi, tetapi dengan mulai mengurangi atau bahkan mencabut pusat aktivitas, ekosistemnya, dan lain sebagainya.

Pendek kata, lakukanlah desentralisai fungsi, bahwa jangan ada lagi visi "mengembangkan" Jakarta, tetapi mengendalikan, sehingga tidak ada lagi kasus membangun tanpa izin, mengangkangi ruang terbuka hijau, atau bahkan reklamasi yang labrak-labrak ketentuan.

"Apalagi 17 pulau baru ini dibungkus (menumpang) program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)," sebut Andy.

Dokumentasi Bidang Penertiban Dinas Penataan Kota DKI Jakarta Penyegelan bangunan di Pulau D oleh Dinas Penataan Kota DKI Jakarta. Adapun pengembang Pulau D adalah PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group.
Kendati demikian, menurut Staf Khusus Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya dan Ahli Antropologi Nurmala Kartini Pandjaitan Sjahrir reklamasi bukanlah hal baru dan tidak harus selalu dipandang negatif.

"Reklamasi tidak tabu, karena ia merupakan bagian dari revitalisasi untuk saat ini dan masa depan. Jadi, reklamasi tidak bisa dihindari karena adanya perubahan iklim," kata Kartini.

Dia melanjutkan, reklamasi merupakan pemulihan kembali, dan bisa dikatakan sebagai obat obat penawar supaya daerah menjadi baik. Kartini meminta para pihak yang kontra reklamasi untuk tidak pernah salah lagi dalam menilai reklamasi.

Pasalnya, secara konsep, reklamasi itu memang harus mengacu pada aturan hukum dan Amdal. Tidak bisa dilakukan secara asal dan sembarangan. Oleh karena itu, pemerintah harus menyusun aturannya secara komprehensif supaya tidak saling tumpang tindih.

Hal senada dikemukakan Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Beni Sutrisno. Menurut dia, Jakarta sangat luas atau hampir sama dengan Mexico City. Karena itu, pusat-pusat kegiatan harus dipecah agar tidak terjadi ekonomi biaya tinggi.

"Sekarang kan harga rumah saja sudah tidak masuk akal bila dibandingkan dengan pendapatan rerata warga Jakarta. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan itu ya dengan reklamasi," imbuh Beni.

Namun berbeda dengan Andy, reklamasi menurut Beni merupakan sebuah keniscayaan. Ada demand, atau kebutuhan. Sayangnya, dengan adanya moratorium menjadikan ketidakpastian bisnis. Dan ini sangat merugikan.

"Pengembang dan investor yang sudah melakukan reklamasi itu sudah menanamkan dana triliunan Rupiah, dana pihak ketiga pula. Ini kan berarti mengganggu usaha. Ini merugikan, karena kesempatan bisnis jadi hilang," jelas Beni.

PRESIDENTIAL PALACE/ Agus Suparto Berdasarkan pantauan udara dengan menggunakan helikopter pada Kamis (14/4/2016), aktivitas reklamasi masih tetap berlangsung di Pulau D, yang terletak muka bibir pantai Indah Kapuk.
Tetapi Beni setuju reklamasi harus dilakukan secara transparan, jujur, dan melalui kajian yang benar. Jangan sampai reklamasi ini dikerjakan tanpa kajian Amdal dan izin dari instansi-instansi terkait.

"Reklamasi Teluk Jakarta jadi polemik kan karena perizinannya bermasalah dan belum ada Amdal," cetus Beni.

Atas dasar hal itu, Beni mengajak publik untuk tidak tabu membicarakan reklamasi. Karena dari sisi konsep, reklamasi bagus untuk membuat hidup menjadi lebih berkualitas. 

"Semua aspek harus dibuka, jujur, dan transparan. Reklamasi juga tidak boleh eksklusif.," tandas dia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau