JAKARTA, KOMPAS.com - Pernahkah Anda melihat Menara Eiffel di Merapi Park Yogyakarta dan Punti Kayu Palembang? Atau warna-warni arsitektural khas Skandinavian di sejumlah kabupaten di Indonesia?
Inilah fenomena terkini yang memenuhi ruang-ruang publik kita. Ikon-ikon wisata dunia dibangun dan dipaksa menjadi ikon domestik dengan tujuan untuk menarik minat wisatawan.
Alhasil, kota dan kabupaten yang terobsesi menjadi popular itu hilang daya tarik inherennya. Tak lagi ada ciri khas, tradisi, dan akar budaya yang menawarkan keragaman.
Yang ada hanya duplikasi, imitasi, dan jalan pintas yang minim kreativitas dan kemalasan pemerintahan daerah (pemda).
Termasuk yang terjadi di Kampung Sarosah yang berlokasi di Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.
Baca juga: Pengamat: Kampung Warna-warni Jakarta, Hanya Kosmetik
Kampung ini beken dan viral di media sosial, karena menawarkan obyek wisata Eropa macam kincir angin yang dibangun tepat di belakang dua bukit Lembah Harau.
Kepada Kompas.com, Urbanis sekaligus Anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Bambang Eryudhawan menyayangkan fenomena ini.
Dia menyebut bangunan wisata Eropa itu sebagai sampah visual yang menganggu masyarakat yang ingin menikmati keindahan alam sekitar.
"Masalahnya orang yang mencintai panorama alam yang indah sekarang terusik dong dengan kehadiran bangunan itu. Itu sampah visual," kata Bambang, Kamis (17/12/2020).
Meski demikian, Yudha (sapaan akrabnya), tidak melarang pemerintah membangun struktur gaya Eropa, namun harus dipertimbangkan secara matang keserasiannya dengan kondisi alamiah sekitar.
"Saya justru mempertanyakan, pemda itu ke mana, bagaimana proses perizinan dan pertimbangan sampai dibuat bangunan seperti ini," tegas Yudha.
Dia menuturkan, untuk Kampung Sarosah yang mengandalkan wisata alamiah tidak cocok dibangun ikon-ikon replika dunia.
Alih-alih memperindah panorama, sebaliknya justru kelewat batas. Bangunan-bangunan replika tersebut merenggut keindahan alam Lembah Harau.