COVID-19 terbukti punya dampak yang begitu sistemik, bukan hanya dari sisi kesehatan tapi juga perekonomian.
Ketika miliaran orang di seluruh dunia mengurangi aktivitasnya dan menghabiskan hampir dari seluruh waktunya di rumah, maka roda ekonomi pun melambat.
Kita pun dipaksa untuk memiliki kebiasaan baru; yang dulunya menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi, kini mulai fasih berbelanja online.
Jika sebelumnya menggunakan laptop hanya untuk membuka aplikasi perkantoran, kini khatam menuntun anaknya bersekolah dengan layanan kelas daring dan konferensi video.
Kebiasaan-kebiasaan baru ini yang sering disebut sebagai new normal, atau kebiasaan baru yang awalnya tidak biasa, namun kemudian menjadi kenormalan baru.
Baca juga: Mempertanyakan New Normal (I)
Artikel ini merupakan bagian ke-2 dari tiga tulisan yang mengupas tentang kebiasaan baru atau New Normal di tengah Pandemi Covid-19.
Habit Formation Model
Charles Duhigg dalam bukunya Habit memperkenalkan konsep habit formation yang memiliki tiga elemen utama.
Kebiasaan terbentuk ketika ada cue/trigger yang dalam kasus ini direprentasikan sebagai ketakutan yang muncul atas berita dan fakta mengerikan Covid-19.
Lalu orang mulai membentuk rutinitas baru, yang dalam hal ini bisa berupa kebiasaan minum jamu, kebiasaan bertransaksi daring, dan sebagainya.
Hasilnya, mereka mendapat reward, yaitu rasa tenang karena memperkecil risiko mengerikan dari Covid-19.
Ketika ini terjadi dalam periode yang cukup lama seperti isolasi yang sudah terjadi sebulan lebih ini, maka siklus yang sama terus berulang dan mulai membentuk kebiasaan.
Minum jamu herbal, masak masakan sendiri, bertransaksi online, mencuci tangan adalah kebiasaan untuk mendapatkan reward berupa rasa aman di tengah ancaman virus jahanam ini.
Seek Pleasure and Avoid Pain
Teori keempat untuk memahami kebiasaan-kebiasaan baru kita ini adalah Pleaseure Theory yang dikemukakan Sigmund Freud.