Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mempertanyakan "New Normal" (II)

Ketika miliaran orang di seluruh dunia mengurangi aktivitasnya dan menghabiskan hampir dari seluruh waktunya di rumah, maka roda ekonomi pun melambat.

Kita pun dipaksa untuk memiliki kebiasaan baru; yang dulunya menggunakan handphone hanya untuk berkomunikasi, kini mulai fasih berbelanja online.

Jika sebelumnya menggunakan laptop hanya untuk membuka aplikasi perkantoran, kini khatam menuntun anaknya bersekolah dengan layanan kelas daring dan konferensi video.

Kebiasaan-kebiasaan baru ini yang sering disebut sebagai new normal, atau kebiasaan baru yang awalnya tidak biasa, namun kemudian menjadi kenormalan baru.

Artikel ini merupakan bagian ke-2 dari tiga tulisan yang mengupas tentang kebiasaan baru atau New Normal di tengah Pandemi Covid-19.

Habit Formation Model

Charles Duhigg dalam bukunya Habit memperkenalkan konsep habit formation yang memiliki tiga elemen utama.

Kebiasaan terbentuk ketika ada cue/trigger yang dalam kasus ini direprentasikan sebagai ketakutan yang muncul atas berita dan fakta mengerikan Covid-19.

Lalu orang mulai membentuk rutinitas baru, yang dalam hal ini bisa berupa kebiasaan minum jamu, kebiasaan bertransaksi daring, dan sebagainya.

Hasilnya, mereka mendapat reward, yaitu rasa tenang karena memperkecil risiko mengerikan dari Covid-19.

Ketika ini terjadi dalam periode yang cukup lama seperti isolasi yang sudah terjadi sebulan lebih ini, maka siklus yang sama terus berulang dan mulai membentuk kebiasaan.

Minum jamu herbal, masak masakan sendiri, bertransaksi online, mencuci tangan adalah kebiasaan untuk mendapatkan reward berupa rasa aman di tengah ancaman virus jahanam ini.

Seek Pleasure and Avoid Pain

Teori keempat untuk memahami kebiasaan-kebiasaan baru kita ini adalah Pleaseure Theory yang dikemukakan Sigmund Freud.

Teori ini menyatakan bahwa manusia punya tendensi untuk seek pleasure and avoid pain. Ancaman Covid-19 adalah pain, maka apa pun yang kita bisa lakukan untuk terhindar darinya akan kita lakukan.

Dan hal-hal yang membuat kita bisa tetap mendapatkan apa yang kita butuhkan tanpa resiko yang signifikan dianggap sebagai pleasure.

Maka semua kebiasaan untuk bisa tetap makan walaupun harus mendadak jadi fasih digital akan dilakukan.

Dorongan untuk menghilangkan rasa pahit dan anyir ramuan herbal pun juga didorong oleh pleasure yang dijanjikan, yaitu memperkecil risiko Covid-19.

Otak kita pun membuat keputusan dengan memperhitungkan perceived risk dan perceived gain dari apapun yang kita lakukan itu.

Dan ketika perceived gain-nya lebih besar dari perceived risk maka hitung-hitungannya jadi masuk dan kebiasaan tersebut tetap dilakukan.

Pahitnya jamu herbal tidak semengerikan resiko fatal yang diakibatkan oleh Covid-19, sehingga kita pun memilih minum jamu herbal yang lebih kecil pain nya.

Saliency, Intensity and immediacy

Apapun meaning yang diciptakan oleh otak kita terhadap informasi ataupun situasi baik itu pain dan pleasure, fear, anxiety dan fantasy akan sangat bergantung pada intensitas, saliency dan immediacynya.

Kita cenderung sulit menabung karena pleasure yang ditawarkan dari hasil menabung baru akan terasa nanti, tidak seketika dan karena itu saliency dan intensitasnya pun tipis.

Sementara godaan menggunakan uangnya untuk jalan-jalan ke eropa lengkap dengan bayangan bagaimana kita bisa “pamer” di media sosial dengan membagikan foto perjalanan atau sekadar check in ke Louvre Museum atau Eiffel sebegitu tebal saliency dan intensitasnya.

Reward-nya pun terasa demikian mendesak, tidak perlu menunggu lama. Karena itulah kita memilih jalan-jalan ke Paris, bahkan walaupun tiket pesawatnya kita bayar dengan memanfaatkan cicilan 0 persen kartu kredit dan biaya pemesanan hotel kita bayar dengan pay later yang ditawarkan agen travel daring.

Begitu juga dengan Covid-19, berita-berita yang beredar begitu intens, holistik dan dekat, sehingga terasa begitu nyata, dan efeknya sangat cepat. Maka kita pun menjadi takut (fear) dan gelisah (anxiety).

Menariknya, bahkan walaupun ramuan herbal, nutrisi buah dan suplemen kesehatan dalam situasi normal biasanya tampak tidak mendesak dan sulit diukur dan dibuktikan secara langsung, namun intensity dan saliency ancaman Covid-19 terasa begitu tebal.

Terlebih lagi, berbagai penelitian behavioral science sudah membuktikan bahwa pain dan fear punya kekuatan dua kali lebih kuat dari pleasure.

Artinya butuh pleasure yang dua kali lebih kuat untuk bisa mengalahkan pain dan fear. Maka dari itu pahitnya jamu herbal pun dirasa menjadi masuk akal untuk memperbesar kesempatan kita untuk bertahan di tengah ancaman Covid-19 yang mengerikan ini.

Adaptation Machine Concept

Teori keenam yang saya gunakan untuk menganalisa kebiasaan baru ini dan kemungkinannya untuk bertahan setelah periode isolasi adalah fakta bahwa manusia adalah mahluk yang selalu bisa beradaptasi.

Adaptasi adalah bagian dari upaya pertanahan kita. Kita beradaptasi dengan dengan orang-orang di sekitar kita dengan mengadopsi norma dan nilai yang berlaku sebagai upaya untuk bertahan dengan berusaha ngeblend dan diterima oleh lingkungan.

Maka dari itu mereka yang kecanduan rokok, minuman keras atau narkoba akan lebih mudah dipulihkan ketika mereka dipisahkan dari lingkungannya yang merokok, minum minuman keras dan mengkonsumsi narkoba.

Bahkan secara fisiologis pun tubuh kita memiliki mode adaptasi otomatis. Lihatlah bagaimana obat yang kita biasa minum semakin lama semakin tidak manjur.

Begitu juga dengan dosis minuman keras, narkoba dan rokok yang makin lama meningkat. Ini karena hormon kebahagiaan yang dikeluarkan pada saat pertama kali kita mengonsumsi apapun yang kita sukai perlahan-lahan akan menurun kadarnya seiring waktu.

Tubuh kita beradaptasi dengan hal itu dan dosis yang sama tidak cukup memuaskan kita seperti pertama kali, dan kita pun mulai meningkatkan dosisnya.

Kemampuan beradaptasi akan membawa kita menjalani kebiasaan-kebiasaan baru yang begitu berat perlahan-lahan menjadi terasa biasa-biasa saja.

Ramuan kunyit jahe temulawak Pak Presiden pun perlahan-lahan kehilangan rasa anyirnya. Kegelisahan yang muncul akibat ketidak fasihan menggunakan teknologi untuk mendukung aktifitas perlahan-lahan akan berubah menjadi kenormalan.

Dan banyak hal baru secara tidak sadar kita adopsi sebagai kebiasaan.

Bagaimana kebiasaan bertahan dan bagaimana kebiasaan menjadi kenangan?

Untuk memprediksi kebiasaan apa yang masih akan kita lakukan setelah masa isolasi usai, kita harus sadar bahwa wabah ini secara bertahap akan hilang, sehingga berangsur-angsur anxiety dan fear-nya pun menjadi pudar, dan intangible.

Ketika itu terjadi maka pikiran kita akan berangsur-angsur pindah ke need and want ketimbang terintimidasi oleh pain, fear dan anxiety.

Pertanyaannya, dengan absennya anxiety, fear and pain, apakah kita masih punya motivasi kuat untuk melakukan apapun kebiasaan kita itu, baik minum jamu herbal, bertransaksi daring, cuci tangan, menggunakan masker, dan lain sebagainya?

Dari perspektif Maslow Hierarchy of Needs, ketika Isolasi dicabut maka kebutuhan mendasar akan mudah terpenuhi.

Akses untuk bisa makan mulai menjadi normal, rasa aman mulai muncul, kita pun mulai shifting ke pemenuhan kebutuhan di hierarchy yang lebih tinggi seperti self esteem dan self actualization, dan ketika itu terjadi apakah kebiasaan yang terbentuk dari new normal ini masih punya alasan untuk dilakukan?

Bersambung

https://properti.kompas.com/read/2020/05/01/204928721/mempertanyakan-new-normal-ii

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke