DISIPLIN ilmu teknik sipil yang mempunyai konsentrasi di bidang transportasi adalah silabus akademik yang sudah umum, namun disiplin ilmu arsitektur untuk masuk ke ranah transportasi bukanlah hal biasa.
Teknik sipil mempunyai konsentrasi di bidang rekayasa transportasi meliputi perencanaan dan prasarana, desain material dan sistem transportasi, rekayasa lalu lintas, dan perencanaan jalan rel.
Sedangkan disiplin ilmu arsitektur yang berhubungan dengan transportasi, paling dekat adalah konsentrasi perancangan/perencanaan kota.
Untuk konsentrasi arsitektur lain seperti perancangan arsitektur, praktik arsitektur, arsitektur lanskap, arsitektur lingkungan dan lain-lain, mungkin dianggap terlalu jauh dari ilmu transportasi.
Padahal, perancangan arsitektur dalam hal ini adalah perencanaan bangunan ketika terealisasi, berpotensi menimbulkan kemacetan lalu lintas baru karena terdapat pergerakan orang atau bangkitan ekonomi baru di kawasan bangunan gedung tersebut.
Proposal-proposal investasi selalu melibatkan arsitek untuk merencanakan bangunan baru, kemudian secara konstruksi, ahli teknik sipil yang merealisasikannya.
Bila bangunan baru diizinkan berdiri, otomatis ada kewajiban pemilik gedung menyediakan ruang parkir baru. Konsekuensi logisnya adalah bila pasokan parkir tersedia, dapat dipastikan permintaan parkir juga meningkat.
Untuk kota-kota besar, ruang parkir disediakan tidak hanya sebagai fasilitas gedung bersangkutan, namun juga ditujukan untuk bisnis karena terbatasnya ruang parkir atau tarif parkir yang masih terlalu murah.
Apabila arsitek selalu membangun gedung baru berikut fasilitas parkirnya, secara tidak langsung akan menambah kemacetan lalu lintas.
Dengan banyaknya ruang parkir terbangun akan mengundang masyarakat gemar menggunakan kendaraan pribadinya.
Harus diakui, arsitek dalam merancang bangunan tidak berdiri sendiri karena harus mengacu pada patokan regulasinya.
Ada beberapa peraturan yang bisa dijadikan landasan hukum untuk setiap bangunan komersial seperti pusat perbelanjaan, hotel, perkantoran, dan atau apartemen dilengkapi lahan parkir.
Kita ambil contoh regulasi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran, dan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir.
Untuk ruang parkirnya, secara teknis dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau Permen PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.
Penjelasan dalam permen tersebut menyatakan bahwa persyaratan teknis untuk ruang parkir adalah persentase rata-rata kebutuhan luasan ruang parkir yakni 20 persen-30 persen dari total luas lantai bangunan gedung.
Bila gedung tinggi terus bertambah, ruang parkir kota juga akan bertambah dan apabila masyarakat memilih membawa kendaraan dan parkir tanpa menggunakan angkutan umum massal, niscaya lalu lintas akan terus macet.
Pertumbuhan modal bangunan baru di Indonesia menurut catatan Bappenas pada Triwulan III-2019 tumbuh 5,5 persen, dan modal bangunan ini tertinggi ketimbang sarana/prasarana lain.
Bandingkan dengan data BPS 2009-2018 yang menunjukkan rerata pertumbuhan jalan (bukan tol) di Indonesia hanya 1,45 persen sedangkan presentase rerata pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor tiap tahunnya mencapai 9,05 persen.
Khusus pertambahan jalan di DKI Jakarta rerata 0,01 persen dan pertumbuhan kendaraan bermotor 12 persen per tahun menurut data Ditlantas Polda Metro Jaya.
Menyimak data di atas tentunya pembangunan gedung baru (termasuk 30 persen luas lahan parkirnya) tetap akan positif marak dan pertumbuhan kendaraan yang positif naik namun tidak sebanding pertumbuhan jalan.
Kondisi kekurangan pertumbuhan jalan jangan lantas diakomodasi secara naif dengan membangun jalan layang lagi.
Kita tidak ingin fasad kota menjadi pemandangan hutan belantara beton jalan layang yang saling bertingkat.
Di sinilah sinergi multi-disiplin ilmu berperan untuk mengonsolidasi kepentingan dan meningkatkan produktivitas publik.
Mengurangi kemacetan lalu lintas tidak hanya melalui manajemen rekayasa lalu lintas namun dengan metoda konsep “push and pull” (menekan penggunaan kendaraan pribadi dan menariknya menggunakan angkutan umum massal).
Secara “pull” dapat juga melalui penataan kota ramah terhadap angkutan massal dan perancangan integrasi antar moda angkutan umum dalam bangunan akan menjadi bahasan tersendiri dalam displin ilmu arsitektur.
Secara kajian arsitektur dapat dibedah desain gedung yang ramah terhadap angkutan umum massal dan integrasi antar moda angkutan umum.
Memang kita akui bahwa platform penataan ruang kota kita masih belum berpihak kepada angkutan umum massal.
Bila terdapat perubahan besar dalam penataan ruang kota untuk berpihak pada angkutan umum massal, kelak banyak didapati light rail transit (LRT), bus rapid transit (BRT), bus transit system (BTS) di jalan-jalan perkotaan ataupun bakal ada sub-sub terminal di setiap kelurahan atau kecamatan.
Ahli tata kota (planolog) dapat merancang sebuah kota tentunya setelah berdiskusi dengan ahli transportasi, sosiolog dan arsitek untuk kota baru yang ramah terhadap angkutan umum massal.
Preseden lain, perancangan kota New York (Manhattan) sangat dipengaruhi oleh arsitek terkenal Louis Henry Sullivan dan muridnya Frank Lloyd Wright dengan gaya arsitektur modern peralihan Abad 18 ke 19.
Mungkin bila tiada regulasi perancangan bangunan, wajib sediakan ruang parkir 20 persen sampai 30 persen dari total luas lantai, sang arsitek juga tidak akan selalu mendesain ruang parkir.
Risiko banyaknya ruang parkir tentunya akan menjadi stimulan masyarakat selalu gemar menggunakan kendaraan pribadi, sementara kapasitas ruang jalan sangat terbatas.
Barang kali arsitek dapat berpikir tentang perancangan desain seimbang. Di samping menyediakan ruang parkir mobil/motor, juga halte/shelter angkutan massal (bus) yang masuk dalam tapak (site) gedung yang nyaman.
Konsep seperti ini dapat kita namakan bangunan yang berintegrasi dengan angkutan umum massal. Kebutuhan akan halte bus terintegrasi dalam tapak tersebut, dapat mengikuti standar kepadatan pengguna gedung sesuai SNI, yakni kepadatan gedung 500 orang ke atas.
Boleh dikatakan arsitek juga bertanggung jawab terhadap kemacetan lalu lintas sebagai akibat hanya memfasilitasi rancangan desain bagi pengguna kendaraan kendaraan pribadi saja, bukan memfasilitasi pengguna kendaraan umum massal.
Untuk membantu mengurangi kemacetan lalu lintas non-disiplin ilmu transportasi, dapat dilakukan secara transit oriented development (TOD) dalam arsitek penataan kota dan transit joint development (TJD) dalam arsitek perancangan bangunan.
Kedua ilmu tersebut TOD dan TJD berasal dari Amerika Serikat untuk mengurangi kemacetan lalu lintas yang sangat parah akibat industri otomotif berhasil mamadati jalan dan beton jalan layang menggurita di sana.
Secara formal, TOD dan TJD dalam konteks akademik belum diajarkan di perguruan tinggi kita.
TOD adalah pengolahan tata guna lahan hanya mengutamakan transport base (pejalan kaki) dari titik simpul angkutan massal (stasiun/terminal) sejauh 400 meter-800 meter.
Hal ini mengacu Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2017) menuju destinasi perkantoran, mal, hotel/apartmen, rumah sakit, galeri, dan lain-lain.
Berbeda dengan TOD dengan sebaran gerakan manusia secara horisontal keluar tapak dari terminal/stasiun untuk melakukan kegiatan di luar, TJD adalah gerakan vertikal dalam satu tapak.
TJD adalah mixed use atau bangunan multi fungsi antara kegiatan transportasi dan kegiatan non-transportasi seperti perkantoran, mal, pertunjukan/bioskop, kuliner, kesehatan, perhotelan, perumahan atau apartemen sesuai zonasi.
Di Amerika, Eropa, bahkan di Jepang, TJD sangat lazim dengan angkutan rail base-nya yakni mass rapid transit (MRT) berada di bawah tanah, sedangkan di atas tanah terdapat ruag multifungsi yang mencakup terminal, pusat belanja, apartemen, perkantoran, dan lain-lain.
Pada bagian inilah arsitek berperan secara aktif untuk terlibat mengurus kemacetan lalu lintas sebagai visi dan motivasi berkarya dalam rona urban modern design.
Jadi semua kebutuhan manusia tercukupi dalam satu tapak sehingga tidak butuh sarana transportasi untuk pergi ke destinasi lain.
Untuk menarik masyarakat menggunakan angkutan umum massal (pull), peran arsitek sangat penting.
Peran arsitek secara langsung dapat diimplementasikan dalam rancangan bangunan-bangunan pelayanan angkutan umum, seperti stasiun kereta api, terminal bus, bandar udara, pelabuhan laut dan pelabuhan angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP).
Bagaimana arsitek mampu merancang kenyamanan, kemudahan, keamanan, keselamatan dan kesetaraan bagi pengguna angkutan umum, termasuk proses perancangan integrasi (konektivitas) antar-moda angkutannya.
Terlebih penting transportasi massa depan hanya tiga, yakni non-motorist transport (NMT), angkutan umum massal (MRT/LRT/BRT), shuttle (angkutan khusus dari perumahan ke sekolah/kampus, perkantoran, mal dan lain-lain).
Kendaraan listrik tetap tidak menjanjikan karena bila telah diproduksi massal tetap akan membuat kemacetan yang sama.
Jadi arsitek-arsitek visioner sangat diperlukan untuk mengubah wajah kota-kota konservatif menjadi kota berwajah baru dalam konsep sustainable urban transport.
Apabila arsitek berhasil mengejawantahkan desain bangunan menjadi produk layanan transportasi umum sesuai standar pelayanan minimum, niscaya masyarakat akan tertarik menggunakan angkutan umum massal. Konsep ”pull” pun akan berhasil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.