Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apartemen Mewah Para Sultan, Investor Asing, dan Daya Saing Jakarta

Kompas.com - 15/07/2020, 19:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

Perkembangan apartemen mewah di Jakarta mencapai puncaknya sekitar awal tahun 2000-an hingga 2012 tetapi kemudian melambat sejak tahun 2016 dan seterusnya.

Bahkan, Anton memperkirakan, pertumbuhan pasokan diperkirakan akan tetap seret hingga 2023.

Untuk membantu dan mendukung pertumbuhan pasar, Kementerian Keuangan mengeluarkan amandemen Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM) pada 2019.

Sejak saat itu pembeli diharuskan membayar 20 persen PPNBM untuk apartemen dengan harga di atas Rp 30 miliar. Sebelumnya, pembeli hanya dikenakan pajak Rp 10 miliar.

Investor Asing dan Daya Saing

Dalam hal distribusi pasokan, CBD Jakarta menyumbang lebih dari setengah dari total pasokan apartemen mewah, sebanyak 56 persen dari total pasokan kumulatif 25.000 unit.

Baca juga: Ini Bedanya Pasar Apartemen Mewah di Jakarta, Singapura, dan Hong Kong

Jakarta Selatan yang dihuni kalangan makmur yang merdeka secara finansial, mendominasi pasokan yang ada di daerah Non-CBD dengan angka 36 persen.

Daerah utama di wilayah ini termasuk Kemang, Pondok Indah dan Dharmawangsa.

Baru-baru ini, sejumlah pengembang dan investor asing juga berpartisipasi dalam pengembangan apartemen mewah di Jakarta.

Baca juga: Marmer Italia, Kloset Jerman, Ini Spesifikasi Apartemen Mewah Jakarta

Para pemain asing ini tertarik untuk membangun, karena meningkatnya UHNWI lokal yang berasal dari Jakarta, Surabaya, dan Medan.

Beberapa proyek apartemen mewah tersebut terafiliasi dengan jaringan hotel internasional. Di antaranya Hongkong Land dengan Anandamaya Suites di area premium Sudirman dengan nilai investasi sekitar Rp 3 triliun.

Kemudian Pollux Properties dari Singapura meluncurkan Pollux Sky Suites di distrik Mega Kuningan. Selanjutnya Sun and Moon Dharmawangsa yang dibangun Tatemono Jepang.

Meskipun kualitas dan fasilitas yang ditawarkan oleh proyek apartemen mewah di Jakarta tak kalah, namun pasar tumbuh pada kecepatan yang relatif lambat dibandingkan dengan kota dunia lainnya.

Menurut Anton hal ini karena hukum properti kita masih membatasi kepemilikan pembeli atau investor asing.

"Berbeda dengan di negara lain yang membebaskan investor asing membeli properti dengan beragam benefit," imbuh Anton.

Baca juga: Terlalu Banyak Syarat, Aturan Kepemilikan Asing Belum Menarik Ekspatriat

Regulasi yang menjadi kendala utama itu terkait pembatasan kepemilikan properti oleh orang asing dan perpajakan yang tinggi adalah dua faktor utama yang berkontribusi terhadap rendahnya daya saing Jakarta dibandingkan Bangkok, Kuala Lumpur, Hong Kong, Singapura, bahkan dengan Ho Chi Minh.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau