JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Riset dan Konsultansi Savills Indonesia Anton Sitorus mengungkapkan, ada dua kendala utama yang mengganjal perkembangan apartemen mewah di Jakarta.
Pertama, regulasi yang membatasi kepemilikan properti oleh orang asing dan kedua, perpajakan yang tinggi.
Sebagaimana diketahui, pembeli dikenai Pajak Penjualan Barang Mewah (PPNBM) 20 persen dari harga apartemen mewah di atas Rp 30 miliar. Sebelumnya, pembeli hanya dikenakan pajak Rp 10 miliar.
"Dua kendala ini yang membuat daya saing Jakarta kalah dibanding kota lain seperti Bangkok, Kuala Lumpur, Hong Kong, Singapura, Manila, dan bahkan Ho Chi Minh di Vietnam.
Alhasil, banyak orang kaya atau Ultra High Net Worth Individual (UHNWI) Indonesia yang justru berbelanja properti di kota-kota tersebut.
Baca juga: Apartemen Mewah Para Sultan, Investor Asing, dan Daya Saing Jakarta
Sementara di sisi lain, ekspatriat dan orang asing yang tinggal di Indonesia mengalami kesulitan untuk membeli apartemen di Jakarta, karena hampir setiap pengembangan sejauh ini belum pernah dibangun di atas sertifikat tanah Hak Pakai.
Sebaliknya, Jakarta adalah pasar termurah meskipun kualitas pengembangan yang ditawarkan di sebagian besar proyek sangat sebanding atau bahkan lebih baik daripada kota-kota lain di dunia.
"Ini sebenarnya memberikan dasar yang baik bagi Jakarta untuk bersaing guna menarik pembeli atau investor asing," kata Anton dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (15/7/2020).
Sebagai ekonomi terbesar di ASEAN dan negara berkembang, Jakarta memiliki potensi untuk menarik bisnis investor asing berekspansi di sini.
Dengan demikian, permintaan akan hunian berkualitas dengan fasilitas berstandar internasional akan terus tumbuh dan karenanya, pasar apartemen mewah dipandang menjadi investasi prospektif dalam jangka panjang.
Berikut perbandingan harga, pajak, dan regulasi kepemilikan apartemen mewah di kota-kota Asia Pasifik: