"Makanya teknisnya diatur harus diusahakan dalam waktu tiga tahun dan seterusnya," ucap Erwin.
Erwin berpendapat, ketiadaan Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja berpotensi menghilangkan semua aturan atau turunan regulasi mengenai tanah telantar.
Ini karena pasal tersebut merupakan payung hukum dari aturan pelaksanaan mengenai tanah telantar, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.
"Kan dampaknya beberapa regulasi akan tidak berlaku," tutur Erwin.
Meski secara prinsip Analis Hukum Pertanahan dan Properti Eddy Leks berpendapat senada dengan Erwin bahwa tanah tidak boleh ditelantarkan, punya pandangan lain.
Menurutnya, tidak dicantumkannya Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja, tidak serta merta menghapus ketentuan pencabutan hak atas tanah yang tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
Ketentuan yang dimaksud, menurut Eddy, telah diatur dalam UU Pokok Agraria yang menyebut penelantaran tanah bisa menyebabkan perusahaan perkebunan kehilangan hak atas tanah.
Pasal 34 UUPA menyebutkan, hak guna usaha (HGU) bisa dihapus karena ditelantarkan.
Baca juga: 8 Pasal Pertanahan RUU Cipta Kerja yang Menyita Perhatian
Tak hanya itu, aturan yang tercantum pada pasal 16 UU Perkebunan juga diatur dalam Pasal 10 UUPA, yang menyebutkan badan hukum yang memiliki hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.
Bukan itu saja, ketentuan ini pun telah diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.
Eddy menambahkan, ketetapan tersebut secara lengkap juga telah diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.
"Dengan kata lain, jika tanah HGU untuk perkebunan ditelantarkan atau tidak diusahakan, maka tetap ada risiko hukum berupa pencabutan hak atas tanah dan sanksi-sanksi lain sesuai peraturan perundang-undangan," tutur Eddy.