Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kontroversi Penghapusan Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja

Tentu saja, penghapusan Pasal 16 ini mengundang pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, Pasal 16 mengatur tentang kewajiban perusahaan perkebunan untuk memanfaatkan lahannya setelah pemberian status hak atas tanah serta pemberian sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya.

Rinciannya sebagai berikut:

(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan:
a. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas hak atas tanah; dan
b. paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman Perkebunan.
(2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pengamat Hukum Pertanahan dan Properti Erwin Kallo, penghilangan Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja patut dipertanyakan.

Karena pada prinsipnya, tanah memiliki fungsi sosial, dengan demikian tidak boleh ditelantarkan.

Untuk itu, Erwin menegaskan, tanah tidak boleh dijadikan obyek perdagangan. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia atau UUPA, 

Karena pada dasarnya Pasal 16 UU Perkebunan merupakan roh atau inti dari UUPA yang menyebutkan tanah harus diusahakan.

Dia menambahkan, substansi atau filosofi hukum pertanahan Indonesia berdasarkan UUPA adalah sebagai fungsi sosial.

"Kita harus tahu substansi hukum pertanahan kita, tanah itu bukan obyek dagangan," ujar Erwin kepada Kompas.com, Selasa (1/5/2020).

Dengan demikian, penghapusan pasal tersebut berarti menghilangkan ketentuan jangka waktu maksimal pemanfaatan tanah setelah diberikan hak atas tanah.

"Karena efek dari penghilangan pasal 16 bahwa tanah dalan tiga tahun harus diusahakan, dan harus ada perencanaan, semua itu akan hilang," tutur dia.

Jika aturan mengenai jangka waktu pemanfaatan tanah dihilangkan, maka dikhawatirkan akan memunculkan spekulan tanah.

Padahal, pasal tersebut merupakan turunan dari UUPA, di mana tanah tidak boleh dijadikan obyek spekulasi dan obyek perdagangan, namun harus terus diusahakan. 

"Makanya teknisnya diatur harus diusahakan dalam waktu tiga tahun dan seterusnya," ucap Erwin.

Erwin berpendapat, ketiadaan Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja berpotensi menghilangkan semua aturan atau turunan regulasi mengenai tanah telantar.

Ini karena pasal tersebut merupakan payung hukum dari aturan pelaksanaan mengenai tanah telantar, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. 

"Kan dampaknya beberapa regulasi akan tidak berlaku," tutur Erwin.

Menurutnya, tidak dicantumkannya Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja, tidak serta merta menghapus ketentuan pencabutan hak atas tanah yang tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.

Ketentuan yang dimaksud, menurut Eddy, telah diatur dalam UU Pokok Agraria yang menyebut penelantaran tanah bisa menyebabkan perusahaan perkebunan kehilangan hak atas tanah.

Pasal 34 UUPA menyebutkan, hak guna usaha (HGU) bisa dihapus karena ditelantarkan.

Tak hanya itu, aturan yang tercantum pada pasal 16 UU Perkebunan juga diatur dalam Pasal 10 UUPA, yang menyebutkan badan hukum yang memiliki hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif.

Bukan itu saja, ketentuan ini pun telah diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar.

Eddy menambahkan, ketetapan tersebut secara lengkap juga telah diatur dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

"Dengan kata lain, jika tanah HGU untuk perkebunan ditelantarkan atau tidak diusahakan, maka tetap ada risiko hukum berupa pencabutan hak atas tanah dan sanksi-sanksi lain sesuai peraturan perundang-undangan," tutur Eddy.

https://properti.kompas.com/read/2020/05/14/150632921/kontroversi-penghapusan-pasal-16-uu-perkebunan-dalam-ruu-cipta-kerja

Terkini Lainnya

Mau Bikin AJB Tanah atau Rumah? Berikut Syarat dan Cara Mengurusnya

Mau Bikin AJB Tanah atau Rumah? Berikut Syarat dan Cara Mengurusnya

Berita
Hingga Oktober, Pemerintah Gelontorkan Rp 282,9 Triliun buat Infrastruktur

Hingga Oktober, Pemerintah Gelontorkan Rp 282,9 Triliun buat Infrastruktur

Berita
119,7 Juta Bidang Tanah Telah Terdaftar melalui PTSL

119,7 Juta Bidang Tanah Telah Terdaftar melalui PTSL

Berita
Jalan Tol Tanjung Pura-Pangkalan Brandan Akan Difungsikan saat Nataru

Jalan Tol Tanjung Pura-Pangkalan Brandan Akan Difungsikan saat Nataru

Berita
Persiapan PP Jelang Nataru, Mulai Jalan Tol hingga Mal

Persiapan PP Jelang Nataru, Mulai Jalan Tol hingga Mal

Berita
'Face Recognition' Digunakan 5,8 Juta Kali, Terbanyak di Stasiun Gambir

"Face Recognition" Digunakan 5,8 Juta Kali, Terbanyak di Stasiun Gambir

Berita
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Belitung Timur: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Belitung Timur: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Dibanderol Rp 1,5 Miliar, Rumah di Sawangan Ini Tak Butuh Renovasi Lagi

Dibanderol Rp 1,5 Miliar, Rumah di Sawangan Ini Tak Butuh Renovasi Lagi

Berita
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Belitung: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Belitung: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Clement Francis Terpilih Jadi Ketua Umum AREBI 2024-2027

Clement Francis Terpilih Jadi Ketua Umum AREBI 2024-2027

Berita
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bangka Tengah: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bangka Tengah: Pilihan Ekonomis

Perumahan
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bangka Selatan: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bangka Selatan: Pilihan Ekonomis

Perumahan
REI Nilai Gebrakan Ara Bertolak Belakang dengan Satgas Perumahan

REI Nilai Gebrakan Ara Bertolak Belakang dengan Satgas Perumahan

Berita
Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bintan: Pilihan Ekonomis

Perumahan Terjangkau di Bawah Rp 200 Juta di Kabupaten Bintan: Pilihan Ekonomis

Perumahan
[POPULER PROPERTI] Ara Bagi-bagi Rp 100 Juta Buat Penghuni Huntap Cianjur

[POPULER PROPERTI] Ara Bagi-bagi Rp 100 Juta Buat Penghuni Huntap Cianjur

Berita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke