JAKARTA, KOMPAS.com - Meningkatkanya harga properti di kota-kota besar membuat alternatif hunian seperti rumah susun (rusun) mulai diminati.
Namun tidak semua bangunan bertingkat di Indonesia bisa dikategorikan sebagai rusun.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rusun, pengertian rusun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik secara horisontal maupun vertikal.
Selain itu, rusun merupakan satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk hunian yang dilengkapid dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Baca juga: Rusun, Solusi Merumahkan Warga Jakarta
Menurut Praktisi Rusun Maharani, sistem kepemilikan rusun di Indonesia ada dua. Pertama kepemilikan perorangan atas unit satuan rusun yang menjadi milik dan dihuni setiap hari.
Kedua kepemilikan bersama atas tanah, benda, dan bagian bersama dalam satu lingkungan rusun.
"Meskipun kita terkesan hanya memiliki unit satuan saja, namun kita tetap ikut serta memiliki tanah, benda, dan bagian bersama yang besarnya dicantumkan dalam kolom Nilai Perbandingan Proposional (NPP) di Sertipikat Hak Milik (SHM) Satuan Rusun (Sarusun)," ujar Maharani dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (8/4/2020).
Maharani yang kini menjabat sebagai Widyaiswara Utama Kementerian PUPR ini melanjutkan, di Indonesia dikenal beberapa jenis rusun, yakni Rusun Umum untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki keterbatasan daya beli.
Lalu Rusun Khusus yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan khusus, misalnya korban bencana, daerah perbatasan, pondok pesantren.
Selanjutnya terdapat Rusun Komersil atau apartemen yang dibangun untuk dijual ke konsumen.
Jenis rusun ini diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke atas. Untuk mendapatkannya, konsumen rusun ini tidak mendapatkan bantuan dan kemudahan oleh pemerintah.
Terakhir ada Rusunawa atau rumah susun sewa yang diperuntukkan bagi masyarakat yang menghuni secara sewa.
Nantinya, pengelolaan rusun, dokumen pendukung seperti perijinan, pemilikan dan pertelaan serta akta pemisahan harus diserahkan kepada PPPSRS.
Apabila pengembang masih memiliki sarusun yang belum terjual, maka kedudukannya bukan lagi sebagai pelaku pembangunan rusun tetapi sebagai pemilik sarusun yang menjadi anggota PPPSRS.