Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Delapan Hal Kontroversial RUU Pertanahan

Kompas.com - 13/08/2019, 18:04 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang akan dilaksanakan pada September 2019, didesak untuk ditunda pelaksanaannya. 

Ada 43 organisasi masyarakat sipil yang mendesak hal tersebut, lantaran RUU itu berpotensi merugikan banyak pihak. 

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan, setidaknya ada delapan persoalan mendasar dalam RUU ini. 

Pertama, RUU Pertanahan dinilai bertentangan dengan UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Meski dalam konsiderannya dinyatakan bahwa RUU Pertanahan akan melengkapi dan menyempurnakan hal-hal yang belum diatur di dalam UUPA, namun substansinya dinilai semakin menjauh dan bertentangan dengan UU tersebut. 

"Kedua, mengenai hak pengelolaan dan penyimpangan hak menguasai dari negara. HPL selama ini menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domain verklaring, yang terlah dihapus UUPA," kata Dewi di Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Hak menguasai dari negera yang telah ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dinilai diterjemahkan RUU Pertanahan secara menyimpang dan powerfull menjadi jenis hak baru yang disebut Hak Pengelolaan. 

Baca juga: RUU Pertanahan Berpotensi Timbulkan Liberalisasi Pasar Tanah

Ketiga, mengenai masalah hak guna usaha (HGU). Di dalam RUU Pertanahan, HGU diprioritaskan bagi pemodal skala besar.

Selain itu, pembatasan maksimum perkebunan tidak mempertimbangkan luas wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan.

Masalah lainnya, RUU Pertanahan mengatur imunitas penguasaan tanah skala besar (perkebunan) apabila melanggar ketentuan luas alas hak.

"RUU juga tidak mengatur keharusan keterbukaan informasi HGU sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Agung," terang Dewi. 

Berikutnya, adanya kontradiksi dengan agenda dan semangat reforma agraria. Kontradiksi itu terlihat di dalam konsideran dan ketentuan umum RUU dengan isi RUU itu sendiri. 

Misalnya, reforma agraria dalam RUU dikerdilkan menjadi sekadar program penataan aset dan akses. RUU tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, dan pendanaan untuk menjamin reforma agraria yang sejati, yakni operasi negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesai yang timpang secara sistematis, terstruktur dan memiliki kerangka waktu yang tidak jelas.  

"Tidak ada prioritas obyek dan subyek reforma agraria untuk memastikan sejalan dengan tujuan-tujuan reforma agrari di Indonesia," ungkap Dewi.

Berikutnya, semangat reforma agraria di RUU Pertanahan sangat parsial, namun tidak tercermin di bab-bab lain terkait rumusan-rumusan baru mengenai hak atas tanah baik itu Hak Pengelolaan, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak GUna Bangunan dan Hak Pakai, juga pendaftaran tanah, pengadaan tanah dan bank tanah, serta pengadilan pertanahan. 

Kelima, adanya kekosongan penyelesaian konflik agraria. Menurut Dewi, RUU ini tidak mengatur bagaimana konflik agraria struktural di semua sektr akan diselesaikan.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau