Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MRT, Cara Mengubah Budaya Bertransportasi Warga

Kompas.com - 29/10/2018, 18:11 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pernahkah Anda mengalami situasi kendaraan yang Anda kendarai, berhenti di tengah jalan karena macet yang luar biasa? Berapa rekor terlama yang pernah Anda alami? 1 jam, 2 jam, 3 jam?

Ketika itu terjadi, pernahkah dalam diri Anda bergumam "mana sih nih pemerintah? Macet kok nggak kelar-kelar" atau "ini polisi pada enggak kerja apa ya?"

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama pada pertengahan 2016 lalu, pernah menyebut, pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta setiap harinya mencapai 1.200 unit, terdiri atas 400 mobil dan 800 sepeda motor.

Tingginya angka pertumbuhan kendaraan tersebut bahkan dianggap sudah melewati batas. Pasalnya, jumlahnya tidak sebanding dengan kapasitas jalan yang tersedia.

Baca juga: MRT Jakarta Berencana Go Public 2023

Namun, apakah menambah jalan akan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut?

Pernahkah terpikirkan dalam benak Anda, bahwa sebagai pengguna kendaraan pribadi, Anda turut menjadi penyumbang kemacetan itu sendiri?

Kondisi Stasiun MRT Senayan pada Kamis (18/10/2018).Kompas.com / Dani Prabowo Kondisi Stasiun MRT Senayan pada Kamis (18/10/2018).
Corporate Secretary Division Head PT MRT Jakarta Tubagus Hikmatullah menilai, mengubah cara pandang masyarakat dalam bertransportasi adalah cara paling efektif dalam mengurangi kemacetan di Ibu Kota.

Selama ini banyak masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi karena dipandang lebih efektif dan efisien dalam menjangkau lokasi yang hendak dituju.

Beberapa transportasi publik yang disediakan pemerintah, dianggap belum mampu menjangkau semua lokasi. Karena itu interkoneksi antar moda transportasi menjadi isu krusial yang harus diperhatikan.

"Masyarakat itu tidak terlalu peduli soal harga (tarif), tetapi lebih kepada masalah interkoneksi kepada jaringan transportasi publik," kata Hikmat di Jakarta, pekan lalu.

Baca juga: Begini, Alur Pembayaran Utang Pembangunan MRT Jakarta

Proyek Mass Rapid Transit (MRT) Fase 1 sepanjang 16 kilometer yang akan beroperasi pada Maret 2019, kelak akan menjadi tulang punggung atau backbone transportasi publik di Jakarta. Trase proyek ini terbentang mulai dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI.

Pada akhir tahun ini, pembangunan Fase 2 sepanjang 8 kilometer akan dimulai. Ini merupakan fase lanjutan yang akan terbentang mulai dari Bundaran HI hingga Kampung Bandan.

Kereta MRT Jakarta yang sudah disiapkan di Depo Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (28/8/2018).KOMPAS.com/ERWIN HUTAPEA Kereta MRT Jakarta yang sudah disiapkan di Depo Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (28/8/2018).
Lalu bagaimana caranya mendorong masyarakat agar bersedia beralih menggunakan moda transportasi yang pembangunan kedua fasenya menelan investasi mencapai Rp 38,5 triliun tersebut?

Nonik, warga Depok yang sehari-hari bekerja di kawasan Kuningan, mengaku, bahwa kehadiran MRT dapat menjadi salah satu solusi kemacetan.

Sebab, sesuai janjinya setiap rangkaian kereta MRT tiba 5 menit sekali dan perjalanan dari Lebak Bulus ke Bundaran HI dapat ditempuh dalam 30 menit.

Baca juga: Pembangunan RSS Monas Dikritik, Ini Kata PT MRT Jakarta

Namun, wanita yang bekerja pada sebuah perusahaan software komputer tersebut, masih enggan untuk beralih menggunakannya ketika kelak beroperasi.

"Kalau saya pribadi enggak, karena MRT belum meng-cover rute perjalanan. Jadi, sangat kurang efektif ya, karena berarti saya harus ke Lebak Bulus dulu dari Tanjung Barat, dan itu berarti high cost," kata dia.

Nonik berharap suatu hari MRT atau moda transportasi lain dapat menjangkau wilayah tempat tinggalnya. Sebab, ia merasa, bahwa selama ini commuter line  masih memiliki banyak persoalan.

Banyak masukan dari masyarakat,  Pemkab Karawang akan menyurati bpemerintah pusat untuk mengusulkan Commuter Line sampai Stasiun Cikampek.KOMPAS.com/ FARIDA FARHAN Banyak masukan dari masyarakat, Pemkab Karawang akan menyurati bpemerintah pusat untuk mengusulkan Commuter Line sampai Stasiun Cikampek.
Mulai dari jadwal yang tidak tentu, jumlah kereta yang sedikit hingga persoalan gangguan teknis yang kerap terjadi saat hujan turun.

Bahkan, Nonik mengaku, pernah mendapat perlakuan tidak senonoh dari penumpang lain ketika berada di dalam kereta.

"Kalau ada alternatif lain dari commuter line, saya sangat gembira sekali. Sungguh," harap dia.

Sementara itu menurut Anggi, seorang pria yang bekerja pada salah satu kantor swasta di bilangan Jakarta Barat, interkoneksi menjadi kunci penting bagi masyarakat agar bersedia pindah menggunakan MRT.

"Kalau sistemnya sudah integrated, pasti akan lebih menarik lagi dan juga lebih menghemat biaya dan juga waktu untuk sampai ke tujuan," ujarnya.

Anggi yang sehari-hari menggunakan mobil untuk bertransportasi, mengaku bersedia menggunakan MRT.

Meski berkantor di Jakarta Barat, ia lebih banyak aktif di bilangan Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, yang kelak dilintasi jalur MRT.

Ilustrasi kemacetan ibukota.SHUTTERSTOCK Ilustrasi kemacetan ibukota.
Dengan demikian, Anggi tidak perlu lagi khawatir harus memikirkan tentang lokasi parkir, hingga mobilnya yang lecet akibat tergores kendaraan lain.

"Jadi kalau sudah ada MRT akan lebih gampang ya dan tadi alasan utamanya hemat waktu," kata dia.

Sejauh ini, beberapa stasiun yang dimiliki MRT telah terintegrasi dengan moda transportasi publik lain seperti PPD, mikrolet, TransJakarta, serta ojek online.

Bahkan, Stasiun Dukuh Atas kelak akan terintegrasi dengan commuter line dan kereta bandara.

Namun tentu diperlukan intervensi lain dari pemerintah agar masyarakat beralih menggunakan MRT.

Baca juga: Bakal Diperpanjang Sampai Tangsel, Ini Perkiraan Jalur MRT

Misalnya, menerapkan tarif parkir yang mahal, meningkatkan pajak kendaraan, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), hingga electronic road pricing (ERP).

Namun di sisi lain, perlu diberikan kemudahan terhadap penggunaan moda transportasi publik. Misalnya, dengan tarif yang lebih murah. Di samping, menambah interkoneksi antarmoda.

Dengan demikian, masyarakat pun secara bertahap akan beralih menggunakan transportasi publik dan pada akhirnya kekhawatiran atas perkiraan bahwa Jakarta akan macet total atau gridlock pada 2020 tidak akan terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com