Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

MRT, Cara Mengubah Budaya Bertransportasi Warga

Ketika itu terjadi, pernahkah dalam diri Anda bergumam "mana sih nih pemerintah? Macet kok nggak kelar-kelar" atau "ini polisi pada enggak kerja apa ya?"

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama pada pertengahan 2016 lalu, pernah menyebut, pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta setiap harinya mencapai 1.200 unit, terdiri atas 400 mobil dan 800 sepeda motor.

Tingginya angka pertumbuhan kendaraan tersebut bahkan dianggap sudah melewati batas. Pasalnya, jumlahnya tidak sebanding dengan kapasitas jalan yang tersedia.

Namun, apakah menambah jalan akan menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut?

Pernahkah terpikirkan dalam benak Anda, bahwa sebagai pengguna kendaraan pribadi, Anda turut menjadi penyumbang kemacetan itu sendiri?

Selama ini banyak masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi karena dipandang lebih efektif dan efisien dalam menjangkau lokasi yang hendak dituju.

Beberapa transportasi publik yang disediakan pemerintah, dianggap belum mampu menjangkau semua lokasi. Karena itu interkoneksi antar moda transportasi menjadi isu krusial yang harus diperhatikan.

"Masyarakat itu tidak terlalu peduli soal harga (tarif), tetapi lebih kepada masalah interkoneksi kepada jaringan transportasi publik," kata Hikmat di Jakarta, pekan lalu.

Proyek Mass Rapid Transit (MRT) Fase 1 sepanjang 16 kilometer yang akan beroperasi pada Maret 2019, kelak akan menjadi tulang punggung atau backbone transportasi publik di Jakarta. Trase proyek ini terbentang mulai dari Lebak Bulus hingga Bundaran HI.

Pada akhir tahun ini, pembangunan Fase 2 sepanjang 8 kilometer akan dimulai. Ini merupakan fase lanjutan yang akan terbentang mulai dari Bundaran HI hingga Kampung Bandan.

Nonik, warga Depok yang sehari-hari bekerja di kawasan Kuningan, mengaku, bahwa kehadiran MRT dapat menjadi salah satu solusi kemacetan.

Sebab, sesuai janjinya setiap rangkaian kereta MRT tiba 5 menit sekali dan perjalanan dari Lebak Bulus ke Bundaran HI dapat ditempuh dalam 30 menit.

Namun, wanita yang bekerja pada sebuah perusahaan software komputer tersebut, masih enggan untuk beralih menggunakannya ketika kelak beroperasi.

"Kalau saya pribadi enggak, karena MRT belum meng-cover rute perjalanan. Jadi, sangat kurang efektif ya, karena berarti saya harus ke Lebak Bulus dulu dari Tanjung Barat, dan itu berarti high cost," kata dia.

Nonik berharap suatu hari MRT atau moda transportasi lain dapat menjangkau wilayah tempat tinggalnya. Sebab, ia merasa, bahwa selama ini commuter line  masih memiliki banyak persoalan.

Bahkan, Nonik mengaku, pernah mendapat perlakuan tidak senonoh dari penumpang lain ketika berada di dalam kereta.

"Kalau ada alternatif lain dari commuter line, saya sangat gembira sekali. Sungguh," harap dia.

Sementara itu menurut Anggi, seorang pria yang bekerja pada salah satu kantor swasta di bilangan Jakarta Barat, interkoneksi menjadi kunci penting bagi masyarakat agar bersedia pindah menggunakan MRT.

"Kalau sistemnya sudah integrated, pasti akan lebih menarik lagi dan juga lebih menghemat biaya dan juga waktu untuk sampai ke tujuan," ujarnya.

Anggi yang sehari-hari menggunakan mobil untuk bertransportasi, mengaku bersedia menggunakan MRT.

Meski berkantor di Jakarta Barat, ia lebih banyak aktif di bilangan Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, yang kelak dilintasi jalur MRT.

"Jadi kalau sudah ada MRT akan lebih gampang ya dan tadi alasan utamanya hemat waktu," kata dia.

Sejauh ini, beberapa stasiun yang dimiliki MRT telah terintegrasi dengan moda transportasi publik lain seperti PPD, mikrolet, TransJakarta, serta ojek online.

Bahkan, Stasiun Dukuh Atas kelak akan terintegrasi dengan commuter line dan kereta bandara.

Namun tentu diperlukan intervensi lain dari pemerintah agar masyarakat beralih menggunakan MRT.

Misalnya, menerapkan tarif parkir yang mahal, meningkatkan pajak kendaraan, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), hingga electronic road pricing (ERP).

Namun di sisi lain, perlu diberikan kemudahan terhadap penggunaan moda transportasi publik. Misalnya, dengan tarif yang lebih murah. Di samping, menambah interkoneksi antarmoda.

Dengan demikian, masyarakat pun secara bertahap akan beralih menggunakan transportasi publik dan pada akhirnya kekhawatiran atas perkiraan bahwa Jakarta akan macet total atau gridlock pada 2020 tidak akan terjadi.

https://properti.kompas.com/read/2018/10/29/181105121/mrt-cara-mengubah-budaya-bertransportasi-warga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke