Pada tahun 1994 Pemprov DKI merencanakan reklamasi kawasan pantai di Teluk Jakarta secara besar-besaran.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto pada Maret 1995. Proyek reklamasi ini dilakukan untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta.
Selain itu, tujuan dilakukannya proyek ini adalah untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibanding wilayah lain.
Kemudian untuk memuluskan rencana tersebut, Presiden lalu mengesahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta serta Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Tetapi kebijakan ini bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Dokumen tersebut tidak menyebutkan mengenai rencana reklamasi.
Disetujuinya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta pada Agustus 1999 menjadi angin cerah bagi jalannya proyek reklamasi.
RTRW tersebut menyebutkan adanya kemungkinan perluasan area DKI Jakarta seluas 2.700 hektar di Jakarta Utara dengan teknik reklamasi.
Rencana ini masih menemui tentangan. Bahkan pada 2003, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makariem mengeluarkan keputusan yang menolak rencana pengerukan 2.700 hektar kawasan Pantura Jakarta.
Penolakan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003. Kala itu, Menteri LH menilai rencana kegiatan reklamasi yang dilakukan Badan Pengelola (BP) Pantura itu tidak layak.
Namun Pemprov DKI Jakarta menolak keputusan tersebut. Bahkan, beberapa perusahaan yang terlibat dalam kegiatan reklamasi menggugat keputusan menteri lingkungan hidup.
Hasilnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan gugatan perusahaan-perusahaan tersebut.
Kementerian LH kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA lalu mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan bahwa reklamasi menyalahi amdal.
Namun keadaan berbalik. Pada tahun 2011, MA mengeluarkan keputusan baru yang menyatakan reklamasi di Pantai Jakarta legal.
Namun untuk memuluskan jalan reklamasi, Pemprov DKI harus membuat amdal baru serta membuat dokumen Kajian lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar wilayah Teluk Jakarta.
Berdasarkan catatan Kompas.com, pada tahun 2012 Presiden SBY menerbitkan Perpres Nomor 122 Tahun 2012. Perpres ini menyetujui praktik pengaplingan wilayah pesisir dan pulau di Teluk Jakarta.
Lalu pada 2014, Pemprov DKI mengukuhkan rencana reklamasi. Rencana ini tertuang lewat SK Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013. SK ini keluar bersamaan dengan pemberian izin reklamasi Pulau G.
Izin reklamasi Pulau G dinilai melanggar. Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai kebijakan itu melanggar karena kewenangan untuk memberikan izin di area laut ada di tangan kementeriannya.
Selain Kementerian KKP, Kementerian Koordinator Kemaritiman meminta pengembang dan Pemprov DKI untuk membuat kajian ilmiah mengenai Pulau G.
Hal-hal tersebut tidak membuat Pemprov menghentikan proyek ini. Pada akhir Oktober 2015, Pemprov DKI bahkan mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi lainnya.
Keputusan Pemprov untuk mengembangkan proyek reklamasi pada akhirnya digugat. Gugatan tersebut datang dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) terkait pemberian izin Pulau G. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan KNTI.