JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana reklamasi di Teluk Jakarta menuai pendapat pro dan kontra, termasuk beragam kebijakan dan payung hukum yang menaunginya.
Setelah sempat berjalan, izin proyek ini akhirnya dicabut oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Di balik pembangunan dan keberadaan pulau reklamasi di Teluk Jakarta, ternyata ada sejarah panjang yang menyertainya.
Bagaimana awalnya?
Di Jakarta, reklamasi pantai untuk memperoleh lahan baru sudah mulai dirintis sejak awal dekade 1970-an. Kala itu, pemerintah membangun Waduk Pluit di Jakarta utara.
Tanah galian waduk kemudian dibuang tak jauh dari lokasi. Pada akhirnya, kawasan bekas urukan tanah ditawarkan kepada pengembang, Dharmala Group (sekarang PT Intiland Development Tbk) untuk dikembangkan sebagai area permukiman. Reklamasi di pantai utara Jakarta dimulai sejak 1986.
"Daripada dibuang jauh-jauh dan menelan biaya besar, lebih baik tanah galian waduk itu dibuang ke laut yang ada di sebelahnya," kata mantan Pemimpin Proyek Pengendalian Banjir DKI Jakarta, Ir Achmad Lanti, yang mengerjakan pembangunan Waduk Pluit kala itu, seperti dikutip dari Harian Kompas, 14 Agustus 1999.
Area ini kemudian dikenal sebagai Pantai Mutiara. Pasir yang digunakan diambil dari perairan di Teluk Jakarta.
Namun kegiatan ini mendapatkan banyak protes serta kritikan. Banyak pihak yang menganggap kegiatan reklamasi di Pantai Mutiara mengganggu arus pendinginan di PLTU Muara Karang. Kenaikan suhu air laut ditengarai menjadi penyebab hal ini.
Reklamasi ini terbagi dalam empat tahap. Tahap I merupakan perluasan wilayah industri Ancol Barat seluas 22,35 hektar, serta pembuatan Pulau I atau Semenanjung daerah rekreasi selas 23,5 hektar.
Pada tahap ini pengembang mengambil pasir murni dari lepas Pantai Tanjung Pasir sebesar 800.000 meter kubik.
Sedangkan tahap II merupakan lanjutan reklamasi Ancol Barat seluas 52,81 hektar. Selanjutnya Tahap III dilakukan di daerah rekreasi seluas 24,25 hektar dengan kegiatan pembangunan Pulau II.
Sementara Tahap IV dilakukan dengan menambah wilayah seluas 119,9 hektar.
Pada tahun 1994 Pemprov DKI merencanakan reklamasi kawasan pantai di Teluk Jakarta secara besar-besaran.
Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar tersebut pertama kali dipaparkan di hadapan Presiden Soeharto pada Maret 1995. Proyek reklamasi ini dilakukan untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta.
Selain itu, tujuan dilakukannya proyek ini adalah untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibanding wilayah lain.
Kemudian untuk memuluskan rencana tersebut, Presiden lalu mengesahkan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta serta Perda Nomor 8 Tahun 1995.
Tetapi kebijakan ini bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Dokumen tersebut tidak menyebutkan mengenai rencana reklamasi.
Disetujuinya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta pada Agustus 1999 menjadi angin cerah bagi jalannya proyek reklamasi.
RTRW tersebut menyebutkan adanya kemungkinan perluasan area DKI Jakarta seluas 2.700 hektar di Jakarta Utara dengan teknik reklamasi.
Rencana ini masih menemui tentangan. Bahkan pada 2003, Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makariem mengeluarkan keputusan yang menolak rencana pengerukan 2.700 hektar kawasan Pantura Jakarta.
Penolakan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003. Kala itu, Menteri LH menilai rencana kegiatan reklamasi yang dilakukan Badan Pengelola (BP) Pantura itu tidak layak.
Namun Pemprov DKI Jakarta menolak keputusan tersebut. Bahkan, beberapa perusahaan yang terlibat dalam kegiatan reklamasi menggugat keputusan menteri lingkungan hidup.
Hasilnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memenangkan gugatan perusahaan-perusahaan tersebut.
Kementerian LH kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. MA lalu mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan bahwa reklamasi menyalahi amdal.
Namun keadaan berbalik. Pada tahun 2011, MA mengeluarkan keputusan baru yang menyatakan reklamasi di Pantai Jakarta legal.
Namun untuk memuluskan jalan reklamasi, Pemprov DKI harus membuat amdal baru serta membuat dokumen Kajian lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang melibatkan pemda di sekitar wilayah Teluk Jakarta.
Lalu pada 2014, Pemprov DKI mengukuhkan rencana reklamasi. Rencana ini tertuang lewat SK Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013. SK ini keluar bersamaan dengan pemberian izin reklamasi Pulau G.
Izin reklamasi Pulau G dinilai melanggar. Kementerian Kelautan dan Perikanan menilai kebijakan itu melanggar karena kewenangan untuk memberikan izin di area laut ada di tangan kementeriannya.
Selain Kementerian KKP, Kementerian Koordinator Kemaritiman meminta pengembang dan Pemprov DKI untuk membuat kajian ilmiah mengenai Pulau G.
Hal-hal tersebut tidak membuat Pemprov menghentikan proyek ini. Pada akhir Oktober 2015, Pemprov DKI bahkan mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi lainnya.
Keputusan Pemprov untuk mengembangkan proyek reklamasi pada akhirnya digugat. Gugatan tersebut datang dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) terkait pemberian izin Pulau G. Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan KNTI.
Sebelum ini, ide moratorium proyek reklamasi telah mencuat ketika Kementerian KKP mengkaji penghentian sementara reklamasi.
Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi.
Namun moratorium yang masih berupa kajian tersebut tidak menghentikan langkah Pemprov DKI Jakarta untuk tetap melaksanakan reklamasi.
Hingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Kementerian LHK menghentikan sementara proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
Setelah moratorium dicabut, hasil reklamasi tersebut kemudian menjadi milik negara sedangkan pengelolaan lahan ada pada pemerintah daerah.
Namu hal ini tidak bertahan lama. Pada akhirnya izin 13 pulau reklamasi yang belum dibangun tersebut dicabut oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada Rabu (26/9/2018).
Baca juga: Izin Reklamasi Dicabut, Ini Kata Pengembang
Sementara empat pulau lain yang sudah dibangun, yakni Pulau C, D, G, dan N.
Nasib keempat pulau tersebut akan ditentukan melalui peraturan daerah (perda) yang akan disusun Pemprov DKI Jakarta.
Perda tersebut akan mengatur secara detail tata ruang dan potret wilayah di pulau yang telah dibangun.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta menyegel 932 bangunan di Pulau D pada 7 Juni lalu. Bangunan itu disegel karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.