JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kecelakaan kerja yang terjadi beberapa waktu terakhir, mendapat sorotan masyarakat. Bagaimana tidak, dalam tujuh bulan terjadi 14 kasus kecelakaan kerja.
Artinya, setiap bulan paling tidak terjadi dua kasus kecelakaan. Hal yang paling menyita perhatian, separuhnya terjadi pada proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Apakah Waskita overload proyek yang ditugaskan pemerintah?
Baca juga : Waskita Akui Lalai dalam Kecelakaan Kerja Infrastruktur
Setidaknya, ada 69 proyek jalan tol yang ditetapkan pemerintah sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Penetapan tersebut masuk ke dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN.
Pemerintah pun menunjuk BUMN karya yang fokus pada proyek infrastruktur untuk menggarap sejumlah proyek tersebut. Salah satunya adalah Waskita.
Baca juga : Ada Apa dengan Waskita Karya?
Beberapa di antaranya proyek di Jawa Barat, yakni Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi) sepanjang 53,6 kilometer. Selanjutnya ada Tol Pejagan-Pemalang (57,5 kilometer), Tol Pemalang-Batang (39 kilometer), Tol Batang-Semarang (75 kilometer) di sepanjang Pantura Jawa Tengah.
Bergerak ke selatan ada ruas Salatiga-Boyolali sepanjang 22,4 kilometer yang merupakan bagian dari Jalan Tol Semarang-Solo, Tol Solo-Ngawi (90 kilometer), dan Tol Solo-Ngawi-Kertosono (177 kilometer).
Baca juga : Drama di Jalan Pattimura
Di Jawa Timur, ada proyek Tol Pasuruan-Probolinggo sepanjang 31,3 kilometer dan di Sumatera terdapat proyek Tol Kayu Agung-Palembang-Betung sepanjang 111,69 kilometer.
Selain Waskita, PT Hutama Karya (Persero) juga mendapatkan penugasan yang tak kalah sedikit.
Namun saat ini, baru delapan ruas yang menjadi prioritas untuk dibangun hingga tahun 2019. Kedelapan ruas itu yakni Bakauheni-Terbanggi Besar (140,9 km), Terbanggi Besar-Pematang Panggang (108 km), dan Pematang Panggang-Kayu Agung (77 km).
Baca juga : 32 Proyek Tol dan 4 Kereta Layang Terkena Dampak Moratorium
Selanjutnya, ruas Palembang-Indralaya (22 km), Kayu Agung-Palembang-Betung (111 km), Pekanbaru-Dumai (132 km), Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi (61,7 km), dan Medan-Binjai (16,7 km).
Minim Ahli dan Penerapan K3
Setidaknya, ada dua faktor yang membuat maraknya kasus kecelakaan kerja terjadi. Pertama, masifnya proyek yang ada tidak ditunjang dengan jumlah ketersediaan tenaga kerja konstruksi yang cukup.
Dari data Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang dikutip dari Tribunnews.com, diperkirakan Indonesia kekurangan tenaga insinyur mencapai 120.000 orang hingga lima tahun mendatang (2015-2019).
Baca juga : Hanya 365.471 yang Ahli dari 8,1 Juta Tenaga Konstruksi Indonesia
"Kita secara nasional kekurangan tenaga teknis, maksudnya insinyur S1, D3 bersertifikat, atau lulusan SMK/STM yang sudah memenuhi syarat tertentu yang sudah tersertifikasi dan dibekali kemampuan tambahan," kata Wicaksono saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/2/2018).
Rencana pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur memang merupakan hal positif. Selain untuk meningkatkan daya saing nasional, pembangunan infrastruktur diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Tak heran bila sejak rezim pemerintahan berganti, pembangunan infrastruktur terus dipercepat dengan banyaknya program yang masuk ke dalam PSN.
"Itu bagus, tapi kebetulan momentum (kekurangan tenaga teknis) tersebut bertepatan dengan kebijakan pemerintah membangun infrastruktur," kata Wicaksono.
Misalnya, dengan menambah slot kursi di perguruan tinggi khususnya fakultas teknik, serta menggandeng sejumlah asosiasi konstruksi terjun ke kampus guna memberikan bekal ilmu di lapangan.
Baca juga : Tenaga Konstruksi Indonesia Belum Siap Bersaing di Asia Tenggara
Langkah lain seperti menggandeng pemerintah daerah (pemda) untuk membuka balai latihan kerja (BLK) yang memberikan pelatihan khusus di bidang infrastruktur.
Namun, Wicaksono enggan menanggapi persoalan maraknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi pada proyek yang digarap Waskita.
Hanya secara umum, menurut dia, banyak kontraktor nasional yang kurang memberikan perhatian lebih terhadap persoalan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan perusahaan yang bergerak di industri minyak dan gas, serta pertambangan.
"Di kita K3 itu is not a big issue bagi sejumlah kontraktor nasional," kata dia.
Semestinya, kontraktor nasional berkaca dari kontraktor asal Jepang yang menempatkan K3 sebagai hal penting.
Bahkan, kontraktor asal Jepang berani menaruh anggaran K3 hingga 10-11 persen dari total nilai proyek. Bagi mereka, memastikan K3 berjalan dengan benar dapat menjadi jaminan dari kualitas sebuah proyek.
"Jangankan proyek atau rambu-rambu, cara berpakaian mereka pun masuk syarat K3. Misalnya ada yang helmnya ketinggalan, mereka enggak boleh masuk ke area proyek. Meskipun mereka adalah seorang manajer proyek," tutur Wicaksono.
Selain kontraktor, ia menambahkan, besar kecilnya anggaran K3 juga tergantung dari kebijakan yang ditetapkan pemilik proyek itu sendiri.
Oleh karena itu, apabila anggaran K3 sudah besar dan diterapkan sesuai prosedur yang ada, maka jika terjadi kecelakaan kerja hal itu merupakan murni kecelakaan kerja.
"Jadi bukan karena kecerobohan, kecelakaan kerja itu terjadi," tuntas Wicaksono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.