Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sengkarut Proyek CitraGarden Aneka Pontianak

Kompas.com - 03/04/2017, 14:34 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

"Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah nota kesepahaman yang mereka konsep sendiri, yang isinya juga dirahasiakan sehingga saya yakin pihak petinggi Ciputra di Jakarta juga tidak mengetahui adanya persekongkolan ini," papar Johan.

Kejanggalan

Kejanggalan lain dalam pemutusan kontrak tersebut, jelas Johan, adalah keluarnya surat peringatan (SP) antara SP-1 dengan SP-3 yang rentang waktunya sangat dekat, hanya berkisar 5 hari hingga 7 hari.

Selain itu, pemutusan kontrak dan pengambilanalihan pekerjaan itu, tidak disertai dengan penghitungan sisa nilai kontrak yang seharusnya dibayar oleh pihak CitraGarden Aneka.

"Saat pemutusan kontrak, tidak ada penghitungan berapa sisa yang menjadi kewajiban yang harus dibayar pihak CitraGarden Aneka. Tandyanto sendiri diusir secara paksa dari lokasi proyek, tanpa ada penghitungan pembayaran dari progres yang telah dikerjakan," ujarnya.

Johan berharap masalah ini dimediasi oleh Ciputra Group (induk usaha PT Ciputra Residence), bila perlu melakukan penghitungan ulang dengan auditor independen.

"Uang segitu bagi Ciputra gak ada apa-apanya dibandingkan dengan proyek mereka yang triliunan rupiah, tapi bagi saya itu besar sekali. Saya siap paparkan semua bukti dan dokumen serta rekaman itu dalam mediasi, supaya semuanya menjadi jelas dan terungkap," tegas Johan.

Selain TB Rizki Makmur yang menjadi korban, masih ada 7 pemasok lainnya dengan bahan material yang sama turut dirugikan dari pemutusan kontrak tersebut.

Hutang Rp 1,2 Miliar

Tandyanto membenarkan apa yang disampaikan Johan. Pihaknya memang berhutang Rp 1,2 miliar kepada TB Rizki Makmur dan sejumlah pemasok lainnya dengan nominal hutang yang bervariasi.

KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Salinan nota kesepahaman pembentukan konsorsium dalam pertemuan pada 24 September 2016 di di Restoran Citarasa Jalan M. Yamin Pontianak pada 24 September 2016.
Tandyanto pun tak menyangkal terkait permasalahan hukum yang dia hadapi saat ini karena mengeluarkan cek kosong.

"Cek itu saldonya kurang, yang saya tujukan untuk membayar salah satu pemasok. Saya berani mengeluarkan cek itu, karena dijanjikan PT Ciputra Residence akan membayar sisa pembayaran pekerjaan yang sudah dilakukan, tapi nyatanya uang itu tidak pernah ada," ungkap Tandyanto.

Dia memaparkan, PT Ciputra Residence tidak pernah mengadakan pertemuan dengan dirinya terkait masalah penghitungan sisa kontrak. Bahkan ia diusir secara paksa dari lokasi proyek.

"Pemutusan kontrak hanya sepihak, alasan mereka terlambat kerja. Alasannya konsumen banyak yang batalkan unit gara-gara terlambat," katanya.

Kontrak proyek antara perusahaan miliknya dengan PT Ciputra Residence tersebut, kata Tandyanto, senilai Rp 55 miliar.

Progres pengerjaan pun sudah melebihi 50 persen. Namun, pihak Ciputra baru membayar sebesar Rp 19,2 miliar.

"Itu belum termasuk adendum dan retensi. Itu semua tanpa uang muka (DP), sebesar 5 persen untuk semua unit yang saya kerjakan," katanya.

Pengerjaan yang belum tertagihkan, kata Tandyanto, di antaranya progres pembangunan gerbang, rumah genset, dua unit blok A1 nomor 8 dan 9 yang memiliki dua SPK yaiut 1 SPK kontrak awal dengan CGA dan 1 SPK dengan pihak lainnya yang baru dibayar sebesar 25 persen.

Kemudian pembangunan pagar dan Blok A2 nomor 2.

"Itu juga penambahan konsumen sekitar kurang lebih 20 persen semua dengan Edy Harianto, termasuk Blok C1 Nomor 1 dan 2 penambahan dibesarkan, itu juga belum termasuk hitungan," ujar Tandyanto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com