"Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah nota kesepahaman yang mereka konsep sendiri, yang isinya juga dirahasiakan sehingga saya yakin pihak petinggi Ciputra di Jakarta juga tidak mengetahui adanya persekongkolan ini," papar Johan.
Kejanggalan
Baca juga: Ungkap Kronologi Kasus Nastar Berjamur, Pemilik Clairmont: Kami Dapat Penawaran
Kejanggalan lain dalam pemutusan kontrak tersebut, jelas Johan, adalah keluarnya surat peringatan (SP) antara SP-1 dengan SP-3 yang rentang waktunya sangat dekat, hanya berkisar 5 hari hingga 7 hari.
Selain itu, pemutusan kontrak dan pengambilanalihan pekerjaan itu, tidak disertai dengan penghitungan sisa nilai kontrak yang seharusnya dibayar oleh pihak CitraGarden Aneka.
"Saat pemutusan kontrak, tidak ada penghitungan berapa sisa yang menjadi kewajiban yang harus dibayar pihak CitraGarden Aneka. Tandyanto sendiri diusir secara paksa dari lokasi proyek, tanpa ada penghitungan pembayaran dari progres yang telah dikerjakan," ujarnya.
Baca juga: Manfaat Daun Sirih Merah untuk Kesehatan yang Sudah Terbukti Secara Ilmiah
Johan berharap masalah ini dimediasi oleh Ciputra Group (induk usaha PT Ciputra Residence), bila perlu melakukan penghitungan ulang dengan auditor independen.
"Uang segitu bagi Ciputra gak ada apa-apanya dibandingkan dengan proyek mereka yang triliunan rupiah, tapi bagi saya itu besar sekali. Saya siap paparkan semua bukti dan dokumen serta rekaman itu dalam mediasi, supaya semuanya menjadi jelas dan terungkap," tegas Johan.
Selain TB Rizki Makmur yang menjadi korban, masih ada 7 pemasok lainnya dengan bahan material yang sama turut dirugikan dari pemutusan kontrak tersebut.
Hutang Rp 1,2 Miliar
Baca juga: Lulus Kuliah Jadi CPNS, Ini 10 Sekolah Kedinasan Sepi Peminat
Tandyanto membenarkan apa yang disampaikan Johan. Pihaknya memang berhutang Rp 1,2 miliar kepada TB Rizki Makmur dan sejumlah pemasok lainnya dengan nominal hutang yang bervariasi.
"Cek itu saldonya kurang, yang saya tujukan untuk membayar salah satu pemasok. Saya berani mengeluarkan cek itu, karena dijanjikan PT Ciputra Residence akan membayar sisa pembayaran pekerjaan yang sudah dilakukan, tapi nyatanya uang itu tidak pernah ada," ungkap Tandyanto.
Baca juga: Warganet Keluhkan Tagihan Listrik Melonjak Usai Program Diskon 50 Persen Berakhir, Ini Kata PLN
Dia memaparkan, PT Ciputra Residence tidak pernah mengadakan pertemuan dengan dirinya terkait masalah penghitungan sisa kontrak. Bahkan ia diusir secara paksa dari lokasi proyek.
"Pemutusan kontrak hanya sepihak, alasan mereka terlambat kerja. Alasannya konsumen banyak yang batalkan unit gara-gara terlambat," katanya.
Kontrak proyek antara perusahaan miliknya dengan PT Ciputra Residence tersebut, kata Tandyanto, senilai Rp 55 miliar.
Baca juga: Rama Sahetapy Ungkap Peran Merdianti Octavia yang Dekatkan ke Ray Sahetapy
Progres pengerjaan pun sudah melebihi 50 persen. Namun, pihak Ciputra baru membayar sebesar Rp 19,2 miliar.
"Itu belum termasuk adendum dan retensi. Itu semua tanpa uang muka (DP), sebesar 5 persen untuk semua unit yang saya kerjakan," katanya.
Pengerjaan yang belum tertagihkan, kata Tandyanto, di antaranya progres pembangunan gerbang, rumah genset, dua unit blok A1 nomor 8 dan 9 yang memiliki dua SPK yaiut 1 SPK kontrak awal dengan CGA dan 1 SPK dengan pihak lainnya yang baru dibayar sebesar 25 persen.
Baca juga: Kronologi Satpam RS di Bekasi Dianiaya Keluarga Pasien hingga Kejang
Kemudian pembangunan pagar dan Blok A2 nomor 2.
"Itu juga penambahan konsumen sekitar kurang lebih 20 persen semua dengan Edy Harianto, termasuk Blok C1 Nomor 1 dan 2 penambahan dibesarkan, itu juga belum termasuk hitungan," ujar Tandyanto.