Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sengkarut Proyek CitraGarden Aneka Pontianak

Kompas.com - 03/04/2017, 14:34 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

PONTIANAK, KompasProperti - Proyek perumahan yang dikembangkan raksasa properti Nasional, PT Ciputra Residence, di Pontianak, Kalimantan Barat, CitraGarden Aneka, tak berjalan mulus.

Meski saat ini proses konstruksinya masih berlanjut, namun meninggalkan beberapa permasalahan yang belum tuntas.

Permasalahan tersebut terjadi pada awal pembangunan Blok A perumahan yang berlokasi di Jl Ahmad Yani II Arteri Supadio, Kabupaten Kubu Raya tersebut dibangun, Februari 2016.

Tahap awal pembangunan ini melibatkan kontraktor dan pemasok material lokal yakni PT Tri Mandiri Utama (TMU), dan toko bangunan (TB) Rizki Makmur.

Hingga akhirnya, TMU diputus kontraknya yang berdampak pada tersendatnya pembayaran kepada sejumlah pemasok material.

Pemutusan kontrak tersebut tentu saja merugikan TB Rizki Makmur yang dimiliki Budianto dan dikelola Johan.

Hingga saat ini, TMU belum membayar pasokan material yang nilainya mencapai Rp 1,2 miliar kepada TB Rizki Makmur.

Johan memaparkan, awalnya kontrak dengan TMU berjalan lancar selama bulan Februari 2016 hingga Juni 2016.

Namun sejak Juni-September 2016, pembayaran macet, karena pada bulan September kontraktor diputus kontrak oleh PT Ciputra Residence melalui surat Nomor 02/SP-3/BANG/CGA/IX/2016.

"PT TMU baru membayar Rp 800 juta dari total sekitar Rp 2 miliar, sehingga masih ada sisa Rp 1,2 miliar yang belum dibayarkan," ujar Johan, Kamis (30/3/2017).

- Citra Garden Aneka
Tidak dibayarnya sisa pembayaran tersebut, ungkap Johan, karena ada permainan antara General Manager CitraGarden Aneka sebelumnya yaitu Eko Sudarusman dan Project Manager Edy Harianto.

Hal tersebut terjadi, sambung dia, saat Eko dan Edy mengajaknya bertemu untuk mencari cara memutus kontrak TMU pada 19 September 2016.

Johan menuturkan, pembicaraan antara mereka bertiga direkam dan siap dibuktikan di pengadilan. Dia juga siap membongkar semua kebobrokan yang dilakukan Edy dan Eko.

Edy dan Eko dikatakan Johan bersekongkol mendepak Tandyanto selaku pimpinan PT TMU dengan cara pengambilalihan pekerjaan secara sepihak dengan alasan pekerjaan mengalami keterlambatan dan tidak sesuai dengan target.

Tak hanya menemui dirinya, ujar Johan, Edy juga mengajak pemasok lainnya untuk menekan Tandyanto dengan cara mendesak untuk segera membayar hutang.

Sebelumnya, papar Johan, Tandyanto pada tahun 2015 membayar salah pemasok dengan cek kosong yang berujung pada pemeriksaan kepolisian.

"Cek ini sudah dijanjikan oleh Edy pasti akan diisi menunggu pencairan," katanya.

Tandyanto tidak bisa mengisi saldo di Bank Mandiri, karena cek yang sudah dikeluarkan tidak bisa dikliring atau ditolak oleh bank sehingga salah satu pemasok melaporkan cek kosong tersebut ke kepolisian.

Johan menambahkan, pihak CitraGarden Aneka yang diwakili Edy dan arsitek Reza Aryandi serta Alexander yang diketahui sebagai kontraktor bayangan, kemudian melanjutkan pertemuan dengan Johan dan beberapa pemasok lainnya.

Pertemuan diadakan di Restoran Citarasa Jalan M. Yamin Pontianak pada 24 September 2016.

"Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah nota kesepahaman yang mereka konsep sendiri, yang isinya juga dirahasiakan sehingga saya yakin pihak petinggi Ciputra di Jakarta juga tidak mengetahui adanya persekongkolan ini," papar Johan.

Kejanggalan

Kejanggalan lain dalam pemutusan kontrak tersebut, jelas Johan, adalah keluarnya surat peringatan (SP) antara SP-1 dengan SP-3 yang rentang waktunya sangat dekat, hanya berkisar 5 hari hingga 7 hari.

KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Salinan Surat Pengambilalihan pekerjaan (SP3) yang dikeluarkan pihak Ciputra kepada PT Tri Mandiri Utama yang dikeluarkan pada 21 September 2016.
Selain itu, pemutusan kontrak dan pengambilanalihan pekerjaan itu, tidak disertai dengan penghitungan sisa nilai kontrak yang seharusnya dibayar oleh pihak CitraGarden Aneka.

"Saat pemutusan kontrak, tidak ada penghitungan berapa sisa yang menjadi kewajiban yang harus dibayar pihak CitraGarden Aneka. Tandyanto sendiri diusir secara paksa dari lokasi proyek, tanpa ada penghitungan pembayaran dari progres yang telah dikerjakan," ujarnya.

Johan berharap masalah ini dimediasi oleh Ciputra Group (induk usaha PT Ciputra Residence), bila perlu melakukan penghitungan ulang dengan auditor independen.

"Uang segitu bagi Ciputra gak ada apa-apanya dibandingkan dengan proyek mereka yang triliunan rupiah, tapi bagi saya itu besar sekali. Saya siap paparkan semua bukti dan dokumen serta rekaman itu dalam mediasi, supaya semuanya menjadi jelas dan terungkap," tegas Johan.

Selain TB Rizki Makmur yang menjadi korban, masih ada 7 pemasok lainnya dengan bahan material yang sama turut dirugikan dari pemutusan kontrak tersebut.

Hutang Rp 1,2 Miliar

Tandyanto membenarkan apa yang disampaikan Johan. Pihaknya memang berhutang Rp 1,2 miliar kepada TB Rizki Makmur dan sejumlah pemasok lainnya dengan nominal hutang yang bervariasi.

KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Salinan nota kesepahaman pembentukan konsorsium dalam pertemuan pada 24 September 2016 di di Restoran Citarasa Jalan M. Yamin Pontianak pada 24 September 2016.
Tandyanto pun tak menyangkal terkait permasalahan hukum yang dia hadapi saat ini karena mengeluarkan cek kosong.

"Cek itu saldonya kurang, yang saya tujukan untuk membayar salah satu pemasok. Saya berani mengeluarkan cek itu, karena dijanjikan PT Ciputra Residence akan membayar sisa pembayaran pekerjaan yang sudah dilakukan, tapi nyatanya uang itu tidak pernah ada," ungkap Tandyanto.

Dia memaparkan, PT Ciputra Residence tidak pernah mengadakan pertemuan dengan dirinya terkait masalah penghitungan sisa kontrak. Bahkan ia diusir secara paksa dari lokasi proyek.

"Pemutusan kontrak hanya sepihak, alasan mereka terlambat kerja. Alasannya konsumen banyak yang batalkan unit gara-gara terlambat," katanya.

Kontrak proyek antara perusahaan miliknya dengan PT Ciputra Residence tersebut, kata Tandyanto, senilai Rp 55 miliar.

Progres pengerjaan pun sudah melebihi 50 persen. Namun, pihak Ciputra baru membayar sebesar Rp 19,2 miliar.

"Itu belum termasuk adendum dan retensi. Itu semua tanpa uang muka (DP), sebesar 5 persen untuk semua unit yang saya kerjakan," katanya.

Pengerjaan yang belum tertagihkan, kata Tandyanto, di antaranya progres pembangunan gerbang, rumah genset, dua unit blok A1 nomor 8 dan 9 yang memiliki dua SPK yaiut 1 SPK kontrak awal dengan CGA dan 1 SPK dengan pihak lainnya yang baru dibayar sebesar 25 persen.

Kemudian pembangunan pagar dan Blok A2 nomor 2.

"Itu juga penambahan konsumen sekitar kurang lebih 20 persen semua dengan Edy Harianto, termasuk Blok C1 Nomor 1 dan 2 penambahan dibesarkan, itu juga belum termasuk hitungan," ujar Tandyanto.

Saat ini, Tandyanto mendekam di Rumah Tahanan Pontianak dan sedang mempersiapkan banding atas putusan majelis hakim yang memvonis hukuman 3 tahun penjara dalam sidang putusan yang diselenggarakan di PN Pontianak pada Kamis (30/3/2017) lalu.

Tidak melaksanakan kewajiban

Sementara itu, General Manager CitraGarden Aneka, Junjun Kurnia menegaskan, sudah melakukan semua pembayaran sesuai dengan kewajiban dan kuitansi tagihan yang diajukan oleh TMU selaku kontraktor.

KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan Salinan nota kesepahaman pembentukan konsorsium dalam pertemuan pada 24 September 2016 di di Restoran Citarasa Jalan M. Yamin Pontianak pada 24 September 2016.
"Kami bayar semua dan tidak ada tunggakan ke TMU atas nama Tandyanto dan itu jelas sekali kami punya semua bukti pembayarannya," ujar Junjun saat ditemui di kantor Marketing Point CGA, Jumat (31/3/2017) sore.

Nilai kontrak antara PT Ciputra Residence dengan TMU, jelas Junjun, sebesar Rp 42 miliar dan sudah dibayar Rp 22 miliar.

Jadi, apabila ada kasus mengenai pemasok yang tidak dibayar, tegas Junjun, PT Ciputra Residence tidak akan berkomentar.

"Karena kami tidak ada kontrak sama sekali dengan para pemasok dan itu murni kontrak antara TMU dengan para pemasok. Kami gak ada sangkut pautnya sama sekali," ujar Junjun.

Terkait dengan SP, sambung Junjun, dikeluarkan dengan interval berkisar 14 hari. Surat SP pertama dikeluarkan pada 29 Agustus 2016, kedua 13 September 2016 dan SP ketiga pada 21 September 2016.

"Memang SP dua dan tiga itu rentangnya hanya satu minggu," katanya.

Secara bertahap, Surat Perintah Kerja (SPK) turun pada bulan Juli 2015 dan harus dipenuhi oleh pihak TMU dalam beberapa tahap.

Ada yang harus selesai pada bulan Januari, Juli dan Oktober 2016, namun terjadi keterlambatan dalam pembangunan.

"Di sini saya tegaskan, kontraktor tidak bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik, sampai pada Agustus 2016 ada pemanggilan dari pihak kami kepada kontraktor dan dilakukanlah penyelesaian," papar Junjun yang sejak Februari 2017 menjabat sebagai GM CitraGarden Aneka.

Namun, dalam pemanggilan tersebut, PT TMU tidak bisa melakukan perbaikan kinerja dan meleset dari target, hingga akhirnya SP dikeluarkan.

Junjun menambahkan, PT Ciputra Residence juga sudah memanggil Tandyanto sebelum dikeluarkannya pemutusan kontrak tersebut, namun yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan.

Manajemen perusahaan juga sudah melakukan penghitungan dan mendapatkan angka progres pengerjaan sebesar 49 persen.

"Yang kami akui hanya 49 persen, walaupun tidak merata pembangunannya dan itu pun 49 persen rasanya sudah lebih dari cukup," katanya.

Terkait dengan proses selanjutnya, PT Ciputra Residence menyerahkan sepenuhnya kepada kuasa hukum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com