Alhasil, beberapa proyek hunian vertikal pun laris terjual. Sebut saja, tiga apartemen yang dikembangkan Pollux Properties yakni WR Simpang Lima di Jl A Yani, The Pinnacle Jl Pemuda, dan Marquis de Lafayette Jl Pemuda.
Fenomena pergeseran investasi ini diakui Direktur Properti PT Adhi Persada Properti, Pulung Prahasto. Menurut dia, sebelum invasi pengembangan apartemen terjadi secara masif dalam tahun-tahun terakhir, pasar Semarang boleh dikatakan statis.
"Tidak ada dinamika. Kalaupun masuk proyek apartemen baru, penjualannya lama. Bisa setahun sampai dua tahun baru laku. Ini karena karakter orang-orang Semarang sangat banyak perhitungan dan pertimbangan. Mereka safety player, lebih memilih instrumen investasi konvensional seperti deposito, tabungan, dan emas," jelas Pulung.
Berbeda dengan Yogyakarta. Pulung melanjutkan, pangsa pasarnya besar yang berasal dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Mereka menyekolahkan anak-anaknya di berbagai perguruan tinggi yang ada di kota ini.
Kebutuhan hunian dalam bentuk apartemen pun terus tumbuh. APP bahkan mencatat penjualan 80 persen untuk Taman Melati Sinduadi dari total 850 unit. Catatan positif ini kemudian memacu APP untuk melansir kembarannya yakni Taman Melati Sardjito sebanyak 640 unit.
Namun, kendati pasarnya sangat potensial, perizinan di kota ini sangat tidak ramah investasi. Pulung berkisah, untuk mendapatkan izin membangun taman Melati Sinduadi butuh waktu lebih kurang setahun. Demikian pula dengan izin Taman Melati Sardjito.
"Hingga kini izin mendirikan bangunan (IMB) untuk Taman Melati Sardjito belum keluar. Padahal semua persyaratan sudah dipenuhi. Hanya karena segelintir kalangan menolak proyek ini, IMB ditangguhkan. Ini sangat tidak kondusif," papar Pulung.
Pasar sekunder
Bicara investasi, tentu harus menyinggung tingkat pengembalian, dan juga keuntungan. Terutama aktivitas transaksi sewa atau pasar sekunder di kedua kota, baik Semarang, dan Yogyakarta.
Menurut Project Manager Amartha View, Siswady Djamaludin, aktivitas sewa di pasar sekunder Semarang cukup menjanjikan. Pasar kota ini yang didominasi eksekutif muda bersedia membayar Rp 26 juta per tahun untuk menyewa rumah-rumah di Payon Amartha.