Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Investasi Properti, Pilih Semarang atau Yogyakarta?

Kompas.com - 02/11/2015, 08:40 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - "Keduanya sama-sama bagus. Secara umum cukup maju dan berkembang," kata CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, mengemukakan pendapatnya tentang potensi Yogyakarta dan Semarang kepada Kompas.com, Minggu (1/11/2015).

Semarang, lanjut Hendra punya potensi menjadi alternatif bagi Jakarta untuk sub-sektor kawasan industri. Di ibu kota Jawa Tengah ini kini tengah dirintis Kawasan Industri Kendal lengkap dengan hunian dan sarana komersialnya atau setaraf kota mandiri.

Kota mandiri Kawasan Industri Kendal tersebut merupakan kolaborasi strategis antara PT Jababeka Tbk, dengan raksasa investasi Singapura, Temasek Holdings. 

Temasek masuk melalui Sembawang Corporation, sementara Jababeka melalui PT Graha Buana Cikarang. Baik PT Graha Buana Cikarang maupun Sembawang Corporation menyertakan modal sebesar masing-masing 51 persen dan 49 persen dari total Rp 1,2 triliun yang disetor melalui PT Kawasan Industri Kendal. 

Pengembangan kota mandiri seluas 2.000 hektar ini, akan menduplikasi kota mandiri Jababeka City. Di dalamnya mencakup lahan industri sebanyak 10 zona, masing-masing memiliki luas 200 hektar, 15.000 hunian yang dilengkapi properti komersial, pusat bisnis dan fasilitas penunjang. 

www.shutterstock.com Ilustrasi
Sementara Yogyakarta punya potensi besar menjadi pasar bagi proyek-proyek apartemen khusus mahasiswa dan bisnis perhotelan. Terbukti beberapa pengembang berlomba membangun apartemen yang berdekatan dengan kampus-kampus perguruan tinggi. Sebut saja PT Adhi Persada Properti (APP), Sahid Group, dan PT HK Realtindo.

Kedua kota ini, dalam catatan Kompas.com, kian diincar para pengembang Nasional baik pelat merah maupun swasta. Meskipun karakter pasarnya berbeda, namun sama-sama punya ceruk beragam yang bisa disasar pengembang.

Direktur Operasional PT PP Properti Tbk Galih Saksono menjelaskan, pasar Semarang sangat dinamis dalam beberapa tahun terakhir terutama untul level kelas menengah. Ada banyak pengembangan apartemen, hotel, dan komersial. 

dokumentasi PT PP Properti Tbk Amertha View Semarang
"Karena itulah perseroan melansir Amartha View seharga Rp 200 juta hingga Rp 500 juta per unit," ujar Galih. 

Dinamisnya pasar Semarang, tambah Galih, ditandai dengan terserapnya Amartha View sebanyak 200 unit dari total 789 unit tahap perdana yang dipasarkan. Proyek dengan nilai investasi Rp 350 miliar ini dirancang sebanyak 1.589 unit dalam dua menara di atas lahan seluas 8 hektar.

Galih menjelaskan, orang-orang Semarang sudah mulai mempertimbangkan mengalihkan investasinya ke sektor properti, terutama apartemen. Sebelumnya, mereka lebih suka menanamkan dana dalam bentuk deposito, tabungan, atau emas. 

Seiring waktu berjalan, pasar Semarang dipenuhi anak-anak muda usia produktif. Mereka yang bersekolah di luar kota atau luar negeri kembali ke tanah kelahirannya untuk berbisnis dan membuka usaha. Tentu, dari aktivitas ini, mereka membutuhkan properti, terutama hunian.

Alhasil, beberapa proyek hunian vertikal pun laris terjual. Sebut saja, tiga apartemen yang dikembangkan Pollux Properties yakni WR Simpang Lima di Jl A Yani, The Pinnacle Jl Pemuda, dan Marquis de Lafayette Jl Pemuda.

Fenomena pergeseran investasi ini diakui Direktur Properti PT Adhi Persada Properti, Pulung Prahasto. Menurut dia, sebelum invasi pengembangan apartemen terjadi secara masif dalam tahun-tahun terakhir, pasar Semarang boleh dikatakan statis. 

"Tidak ada dinamika. Kalaupun masuk proyek apartemen baru, penjualannya lama. Bisa setahun sampai dua tahun baru laku. Ini karena karakter orang-orang Semarang sangat banyak perhitungan dan pertimbangan. Mereka safety player, lebih memilih instrumen investasi konvensional seperti deposito, tabungan, dan emas," jelas Pulung.

Berbeda dengan Yogyakarta. Pulung melanjutkan, pangsa pasarnya besar yang berasal dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Mereka menyekolahkan anak-anaknya di berbagai perguruan tinggi yang ada di kota ini.

Kebutuhan hunian dalam bentuk apartemen pun terus tumbuh. APP bahkan mencatat penjualan 80 persen untuk Taman Melati Sinduadi dari total 850 unit. Catatan positif ini kemudian memacu APP untuk melansir kembarannya yakni Taman Melati Sardjito sebanyak 640 unit.

Namun, kendati pasarnya sangat potensial, perizinan di kota ini sangat tidak ramah investasi. Pulung berkisah, untuk mendapatkan izin membangun taman Melati Sinduadi butuh waktu lebih kurang setahun. Demikian pula dengan izin Taman Melati Sardjito. 

"Hingga kini izin mendirikan bangunan (IMB) untuk Taman Melati Sardjito belum keluar. Padahal semua persyaratan sudah dipenuhi. Hanya karena segelintir kalangan menolak proyek ini, IMB ditangguhkan. Ini sangat tidak kondusif," papar Pulung.

Pasar sekunder

Bicara investasi, tentu harus menyinggung tingkat pengembalian, dan juga keuntungan. Terutama aktivitas transaksi sewa atau pasar sekunder di kedua kota, baik Semarang, dan Yogyakarta. 

Menurut Project Manager Amartha View, Siswady Djamaludin, aktivitas sewa di pasar sekunder Semarang cukup menjanjikan. Pasar kota ini yang didominasi eksekutif muda bersedia membayar Rp 26 juta per tahun untuk menyewa rumah-rumah di Payon Amartha.

"Sementara untuk apartemen di tengah kota sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per bulan untuk tipe studio dan satu kamar tidur," tandas Siswady.

worldpropertychannel.com Ilustrasi
Demikian halnya dengan Yogyakarta yang disebut Pulung sebagai pasar yang luar biasa. Ini terkait dengan cepatnya turn over aktivitas sewa rumah-rumah sekunder maupun kos-kosan. Pasar utama yang menggerakkan aktivitas sewa ini jelas para mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan juga konsumeen yang bermotif investasi.

"Jumlah mahasiswa baru sebanyak ratusan ribu orang adalah captive market proyek-proyek apartemen. Dalam sebulan apartemen yang ditransaksikan bisa mencapai lebih dari 30 unit. Sementara pasar sewa rumah dan kos-kosan bisa lima hingga 10 orang dalam daftar tunggu untuk satu unit properti," kisah Pulung.

Adapun harga sewa rumah sekunder atau kos-kosan di dalam kota serentang Rp 1 juta hingga Rp 5 juta per bulan. Sementara di luar kota sekitar Rp 500.000-Rp 1,5 juta per bulan. Angka ini sangat bergantung pada fasilitas dan luas ruang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau