Menurut Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH), Tiongkok saat ini tengah mengalami ledakan pembangunan gedung-gedung tinggi. Tahun lalu saja, 37 pencakar langit dengan ketinggian di atas 200 meter, rampung terbangun.
Pengembangan tak hanya terjadi di kota utama, melainkan juga kota-kota lapis kedua macam Suzhou, Tianjin, dan Shenyang. Membangun struktur tinggi seakan menjadi adu gengsi, karena berpotensi mendatangkan banyak investor asing dan keuntungan komersial berlipat.
CTBUH mencatat, pembangunan pencakar langit di Tiongkok tiga kali lipat lebih banyak sejak 1998, atau sejak migrasi besar-besaran yang terjadi di Amerika Serikat pada 1995.
"Apa yang terjadi di Tiongkok ini mirip dengan apa yang terjadi di AS pada 80 hingga 100 tahun yang lalu, pada skala yang berbeda. Pengembang bersaing menjadi perhatian utama dan tertinggi di Tiongkok sekaligus dunia," ujar Direktur Eksekutif CTBUH, Antony Wood.
Suzhou tampil terdepan. Kota ini bakal memiliki sepertiga dari seluruh bangunan tertinggi di dunia pada 2020 mendatang. Menyusul kemudian Shenyang di provinsi Liaoning, Wuhan (Hubei), dan Tianjin.
Sayangnya, tak satupun dari pencakar-pencakar langit yang tengah dibangun itu melebihi ketinggian gedung terjangkung di dunia saat ini yakni Burj Khalifa, Dubai atau melampaui proyek Kingdom Tower setinggi 1 kilometer di Jeddah, Arab Saudi.
Kendati demikian, Tiongkok unggul dalam kuantitas. Bahkan, Hongkong, sebagai bagian dari Tiongkok dan Taiwan memiliki setengah dari 20 bangunan tertinggi di dunia.
Urbanisasi
Masifnya pembangunan pencakar langit di Tiongkok merupakan dampak dari kebijakan Perdana Menteri Li Keqiang yang telah memperjuangkan urbanisasi sebagai "mesin besar" pendukung ekspansi perekonomian.
Pemerintah memprediksi bahwa penduduk kota dengan upah lebih tinggi sama artinya dengan lebih banyak uang yang dihabiskan untuk konsumsi televisi, wisata dan rumah baru.
Dengan sekitar 250 juta orang yang ditargetkan relokasi ke kota-kota Tiongkok dalam dekade berikutnya, laju pembangunan termasuk infrastruktur jalan, kereta api dan infrastruktur air, dan lembaga kebudayaan, di samping gedung-gedung tinggi, telah melampaui mimpi Tiongkok sebagai negara dengan peradaban tinggi.
Gedung pencakar langit dianggap sebagai cara terbaik untuk membangun kota dan mengakomodasi ledakan penduduk perkotaan. Namun ternyata, pembangunan perkotaan tak sesederhana yang dibayangkan. Ada banyak masalah perkotaan seiring lajunya pembangunan pencakar langit.
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional pun sedang mempelajari rencana untuk meningkatkan perencanaan kota dengan membatasi sampah masyarakat akibat pembangunan perkotaan.
Realitas ekonomi
Lepas dari masalah perkotaan, pembangunan pencakar langit Tiongkok masih akan terus berlanjut. Fenomena yang terjadi di negeri ini mirip dengan di New York, Kuala Lumpur, dan Dubai. Pasar didahului kemerosotan ekonomi dan harga properti di 55 kota dari total 70 kota.
"Tiongkok akan sampai ke titik di mana realitas ekonomi, apakah itu pada tingkat pengembang, pemerintah daerah atau pemerintah pusat, akan menjadi faktor besar yang menyusul ambisi," kata Wood.
Itulah mengapa Sky City yang direncanakan sebagai perobek angkasa 838 meter dan puncak gedung tertinggi Tiongkok hingga saat ini tak kunjung terbangun. Rupanya realitas ekonomi telah mengalahkan ambisi menjadi yang tertinggi di dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.