Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arsitek Pesimistis Indonesia Punya Kota yang Ekologis

Kompas.com - 20/05/2016, 18:30 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebuah kota ekologis atau ecocity harus berdasar pada beberapa hal. Setidaknya, kota yang ekologis memiliki inovasi arsitektural dan lanskap yang ideal.

Namun, menurut arsitek dari Rujak Center for Urban Studies, Avianti Armand, dua hal ini justru bertentangan.

"Tentang kota yang ekologis, dalam posisi saya sebagai warga kota, terlebih lagi sebagai arsitek, saya pesimistis," ujar Avianti dalam diskusi “Arsitektur Masa Depan: Desain Ekologis untuk Kota Ekologis" di Auditorium lFl Jakarta, Jumat (20/5/2016).

Ia mengatakan, inovasi-inovasi arsitektural di Indonesia hanya seperti riak-riak kecil. Sementara perkembangan kota yang cepat tidak terkendali adalah sebuah arus besar yang terjadi di mana-mana.

Avianti mempertanyakan, bagaimana inovasi arsitektural bisa berhadapan dengan arus besar yang sangat kuat tersebut.

Jika arsitektur dilihat sebuah profesi atau peran heroik dalam pembentukan kota, mungkin belum tentu bisa dijawab oleh arsitek.

Ia menggambarkan perkembangan kota adalah kereta dan masyarakat adalah penumpangnya. Saat ini, masyarakat hanya bisa duduk di dalam kereta yang tidak memiliki masinis.

"Kita tidak bisa apa-apa lagi karena kereta menuju ke jurang. Inovasi arsitek mungkin cuma mengurangi sedikit kecepatan kereta, tapi tidak mengubah arah kereta," jelas Avianti.

Dengan demikian, tambah dia, apapun yang arsitek lakukan sebetulnya tidak memberikan dampak yang begitu signifikan.

Avianti melanjutkan, definisi kota yang ekologis sendiri dibangun dengan prinsip yang berkesesuaian dengan lingkungan hidup.

Tujuan utama dari ecocity sejatinya adalah menghapus sampah karbon untuk menghasilkan energi sepenuhnya dari sumber-sumber terbarukan.

Ecocity juga betujuan meleburkan kota secara harmonis dengan kehidupan alaminya. Lebih lanjut, ecocity memiliki tujuan menstimulasi pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, memanfaatkan kepadatan populasi, sehingga mencapai efisiensi tinggi dan memperbaiki kondisi kesehatan warganya.

Namun, kalau dilihat dari apa yang menjadi agenda ecocity, justru ada kompleksitas yang saling tumpang tindih.

"Bagaimana mengawinkan pertumbuhan ekonomi dengan mendudukkan manusia dan lingkungan binaannya dalam lingkungan yang alami?" tutur Avianti.

Dalam hal ini, ia juga mempertanyakan bukti atau data tentang kepadatan jenuh manusia di suatu tempat dengan implikasi yang berupa keuntungan dan kerugian secara terukur.

Terukurnya kepadatan dan implikasi ini tidak hanya harus secara ekonomis, tapi juga secara ekologis dan psikologis. Namun sayangnya, hasil pengukuran ini belum ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau