Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Penghapusan Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja

Kompas.com - 14/05/2020, 15:06 WIB
Rosiana Haryanti,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menghapus ketentuan Pasal 16 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja.

Tentu saja, penghapusan Pasal 16 ini mengundang pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, Pasal 16 mengatur tentang kewajiban perusahaan perkebunan untuk memanfaatkan lahannya setelah pemberian status hak atas tanah serta pemberian sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya.

Rinciannya sebagai berikut:

(1) Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan:
a. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas hak atas tanah; dan
b. paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman Perkebunan.
(2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pengamat Hukum Pertanahan dan Properti Erwin Kallo, penghilangan Pasal 16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja patut dipertanyakan.

Karena pada prinsipnya, tanah memiliki fungsi sosial, dengan demikian tidak boleh ditelantarkan.

Baca juga: Kementerian ATR/BPN Bantah RUU Cipta Kerja Untungkan Pengusaha Besar

Untuk itu, Erwin menegaskan, tanah tidak boleh dijadikan obyek perdagangan. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia atau UUPA, 

Karena pada dasarnya Pasal 16 UU Perkebunan merupakan roh atau inti dari UUPA yang menyebutkan tanah harus diusahakan.

Dia menambahkan, substansi atau filosofi hukum pertanahan Indonesia berdasarkan UUPA adalah sebagai fungsi sosial.

"Kita harus tahu substansi hukum pertanahan kita, tanah itu bukan obyek dagangan," ujar Erwin kepada Kompas.com, Selasa (1/5/2020).

Dengan demikian, penghapusan pasal tersebut berarti menghilangkan ketentuan jangka waktu maksimal pemanfaatan tanah setelah diberikan hak atas tanah.

"Karena efek dari penghilangan pasal 16 bahwa tanah dalan tiga tahun harus diusahakan, dan harus ada perencanaan, semua itu akan hilang," tutur dia.

Jika aturan mengenai jangka waktu pemanfaatan tanah dihilangkan, maka dikhawatirkan akan memunculkan spekulan tanah.

Padahal, pasal tersebut merupakan turunan dari UUPA, di mana tanah tidak boleh dijadikan obyek spekulasi dan obyek perdagangan, namun harus terus diusahakan. 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau