Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kementerian ATR/BPN Bantah RUU Cipta Kerja Untungkan Pengusaha Besar

Kompas.com - 07/05/2020, 20:08 WIB
Putri Zakia Salsabila ,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil  membantah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dibuat untuk menguntungkan pengusaha besar.

"Ada yang berkata bahwa RUU ini berpihak pada pengusaha besar. Ini salah besar, RUU Cipta Kerja justru mendorong pengusaha kecil menengah (UKM) karena mereka menemui hambatan selama ini," ujar Sofyan dalam acara online ATR/BPN Goes to Campus (GTC) lintas kampus pada Rabu (7/5/2020).

Menurutnya, hal ini terjadi karena seseorang bebas mengeluarkan suatu opini, yang belum tentu tahu kebenarannya sehingga mengakibatkan banyak kebingungan di tengah masyarakat.

Pemerintah menggagas RUU Cipta Kerja ini didukung oleh 11 klaster dan dibentuk dengan metode Omnibus Law.

Baca juga: 8 Pasal Pertanahan RUU Cipta Kerja yang Menyita Perhatian

Omnibus Law merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengganti dan atau mencabut ketentuan dalam UU.

"Omnibus Law juga mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU (tematik). Dalam RUU Cipta Kerja ini akan menyinkronkan 79 peraturan perundang-undangan dan 1.203 pasal," tutur Sofyan.

Salah satu klaster yang mendukung RUU Cipta Kerja adalah klaster pertanahan.

Melalui klaster ini, Kementerian ATR/BPN menetapkan arah kebijakan, sehingga perlu disiapkan beberapa regulasi di bidang pertanahan terkait pelaksanaan RUU Cipta Kerja.

"Ada 13 Rancangan Perubahan Peraturan yang akan disiapkan oleh Kementerian ATR/BPN untuk mendukung pelaksanaan RUU Cipta Kerja ini," kata Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah Andi Tenrisau yang turut menjadi narasumber.

Selain membahas Omnibus Law, dalam acara tersebut Sofyan juga menjelaskan tentang kesulitan para pengusaha UKM dalam melakukan investasi karena terlalu banyaknya regulasi.

Regulasi yang ada umumnya menjadi hambatan dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para pengusaha.

Menurut Sofyan, Indonesia tertinggal dari China, Vietnam, Malaysia dan Filipina, dalam hal pertumbuhan ekonomi.

Ketika perang dagang antara China dengan Amerika Serikat, banyak perusahaan yang hengkang dari RRT, namun tidak memilih Indonesia untuk destinasi baru mereka berinvestasi.

"Ini yang akan kami perbaiki ke depannya," tuntas Sofyan.

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau