JAKARTA, KOMPAS.com - "Hak menguasai itu harus diberi batasan yang kira-kira tidak bisa disalahgunakan, terutama dalam pengadaan tanah dan sebagainya".
Demikian pakar hukum agraria Achmad Sodiki, mengemukakan pendapatnya saat diskusi publik bertema "Kiblat RUU Pertanahan, Kembali ke Pancasila dan UUPA 1960" di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Sodiki menyebut, dalam Bab I Ketentuan Umum draf Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan memang tercantum Hak Menguasai Negara.
Penjelasannya, Hak Menguasai Negara adalah kewenangan yang dimiliki oleh negara sebagai organisasi kekuasaan yang mewakili rakyat Indonesia dalam rangka pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan di bidang pertanahan.
Sodiki mengatakan, hak semacam ini sebenarnya mirip dengan konsep Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), termasuk di dalamnya hak ulayat.
Dalam perundang-undangan, negara memiliki seluruh wilayah Indonesia. Kepemilikan ini dibagi menjadi hak-hak tertentu yang dipunyai warganya, atau hak keperdataan dan hak-hak yang masih kosong.
Dari sisi ini, Sodiki menjelaskan masyarakat Indonesia dulu dikonsepsikan sebagai masyarakat kolektivisme atau mementingkan kepentingan bersama.
Jika dikaitkan dengan tanah, hak menguasai negara mencerminkan kolektivisme hak dari
masyarakat Indonesia
Sementara masyarakat barat dinilai sebagai individualis atau mementingkan kepentingan individu.
Di barat, negara cenderung mengusung kepentingan individu yang tecermin dari pengaturan hak milik.
Hak individu ini diatur secara sangat detail dalam peraturannya. Berbeda dengan Indonesia yang justru tidak mengatur secara rinci.
"Kita (Indonesia) yang menekankan hak menguasai negara sebagai kolektif ngga dirinci, sehingga ada kemungkinan negara bisa menyalahgunakan kekuasaannya dengan dalih
untuk kepentingan umum," kata Sodiki.