JAKARTA, KOMPAS.com - Posisi Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Tidak hanya kepada masyarakat kelas atas, RUU ini seharusnya juga bisa membela hak rakyat kecil, contohnya masyarakat adat.
"Kalau tanah diambil kan masyarakat adat menjadi tidak ada. Syaratnya masyarakat adat itu kalau ada tanah ulayatnya," ujar pakar hukum agraria Achmad Sodiki, saat diskusi publik bertema "Kiblat RUU Pertanahan, Kembali ke Pancasila dan UUPA 1960" di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut dia, untuk membuat RUU Pertanahan lebih adil cukup sulit mengingat adanya aspek ideologis yang berbeda antara masyarakat tradisional dan modern.
Hal ini juga menjadi tantangan pengesahan RUU Pertanahan dari sisi sosiologis. Pasalnya, jika dibandingkan, masyarakat modern berkembang sangat pesar sementara masyarakat adat justru memegang nilai-nilai tertentu yang turun temurun sejak dulu.
RUU ini sebaiknya harus bisa mewadahi kepentingan masyarakat yang larinya lambat seperti masyarakat adat atau tradisional.
Di sisi lain, tantangannya adalah pemerintah cenderung memiliki kebijakan pembangunan ekonomi yang memandang tanah sebagai salah satu komoditas.
Padahal, masyarakat adat tidak berpikir untuk menjual tanahnya, meskipun bernilai ekonomi yang besar bagi pengusaha.
"Seperti UU Perkebunan kalau tanah mau diambil menjadi HGU (Hak Guna Usaha) maka tanah ulayat bisa dimusyawarkan dan diganti rugi," kata Sodiki.
Padahal, lanjut dia, pasal 18b ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, sudah menjamin keberadaan masyarakat hukum adat.
RUU ini bagaimanapun juga, harus memecahkan perbedaan kepentingan di antara masyarakat tradisional dan modern tanpa harus mengorbankan satu sama lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.