JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Moech Firman Fahada menanggapi tudingan warga soal wilayah Desa Kuaklalo yang diklaim sepihak dan masuk kawasan hutan.
Wilayah tersebut terkait dalam pembangunan Bendungan Manikin di Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang.
Menurut Firman, kawasan hutan di NTT termasuk Desa Kuaklalo, sudah diregistrasi sejak zaman Belanda yakni tahun 1936 sampai tahun 1939.
Untuk sebagian Desa Kuaklalo dan sejumlah desa tetangga lainnya yang akan dijadikan lokasi pembanguan Bendungan Manikin, masuk dalam kawasan Hutan Sisimenisanam.
Baca juga: Ganti Rugi Proyek Bendungan Manikin Belum Dibayar, Warga Kupang: Pak Jokowi Tolong Kami!
Firman menjelaskan, pada tahun 1979 sampai 1981, Gubernur NTT saat itu menunjuk tata batas kawasan hutan dan disahkan tahun 1982.
"Ketua panitia tata batas saat itu Bupati Kupang," kata Firman kepada Kompas.com di ruang kerjanya, Kamis (18/3/2021).
Kemudian, pada tahun 1983 mulai diterbitkan tata guna hutan kesepakatan atau TGHT dan tidak ada perubahan.
Selanjutnya, tahun 2016 karena adanya rencana pembangunan bendungan, maka pemerintah daerah mengusulkan agar lokasi bendungan keluar dari kawasan hutan.
"Sehingga keluarlah surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 357. Itulah yang akan kami pasangi tapal batasnya dan akan kami tata batasnya," ujar dia.
Pihaknya sudah dua kali menggelar sosialisasi tentang hal itu pada Bulan Desember 2020 di kantor Kecamatan Taebenu dan Bulan Maret 2021 pekan lalu di Desa Bokong.
Dari sosialisasi itu, hanya masyarakat Desa Tuaklalo yang menolak wilayah mereka dijadikan sebagai kawasan hutan.
Baca juga: Tak Lama Lagi, Petani Gowa Bisa Menikmati Bendungan Karalloe
Karena itu, Firman berharap segera ada koordinasi antara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV Kupang, dan Balai Wilayah Sungai NTT II untuk menggelar pertemuan lagi dengan warga Desa Tuaklalo.
Menurut Firman, pada dasarnya pihaknya tidak ada menyusahkan masyarakat dalam proses ini.
"Kami hanya mau jelaskan ke masyarakat kalau mau proses ganti rugi ini berlanjut, maka terima dulu penjelasan kami dengan menata batas tanah dengan jelas," sambungnya.
Firman pun menawarkan solusi jangka pendek dan panjang sesuai keinginan masyarakat yang bisa ditempuh dengan mekanisme revisi tata ruang.