JAKARTA, KOMPAS.com - Kembali, putera-puteri terbaik berlaga di kompetisi arsitektur bergengsi dunia, mengharumkan nama Indonesia.
Kali ini RIE dari Universitas Teknologi Yogyakarta dengan karya O’Pon on the Hill, Envision, Identity and Sustainability yang berhasil lolos menjadi finalis Fentress Global Challenge 2020.
Mereka harus bertarung dengan 22 karya mahasiswa lainnya dari 15 negara untuk dipilih menjadi yang terbaik pada ajang yang digelar oleh Fentress Architects tersebut.
Sejak peluncuran resminya pada tahun 2011, Fentress Architects telah menyelenggarakan kompetisi desain untuk mahasiswa seluruh dunia.
Baca juga: Dua Karya Arsitek Indonesia Raih Penghargaan Terpopuler Architizer A+Awards
Kompetisi tahunan ini bertujuan untuk mendorong dan mendukung desainer muda guna mengembangkan karyanya.
Fentress Global Challenge tahun ini mensyaratkan mahasiswa untuk merancang terminal bandara yang baru dan inovatif.
Penilaian berdasarkan upaya mereka menciptakan desain yang menekankan keberlanjutan, ketahanan sekaligus dapat mengakomodasi mobilitas, urbanisasi, globalisasi, teknologi, fleksibilitas, keamanan, kelayakan proyek, dan pengalaman penumpang.
Kompetisi tersebut juga mendorong peserta untuk memanfaatkan prakiraan populasi, kondisi lingkungan, moda perjalanan, dan tujuan potensial dalam pembuatan konsep desain.
Dalam penyelenggaraan tahun ini, lebih dari 100 karya telah dinilai oleh dewan juri yang terdiri dari Curtis Fentress, Thomas Pellegrin, Christine Negroni, Charles Waldeheim, ken Gidlow, David Alexander, Bryant L Francis, dan Khaled Naja.
Ke-22 finalis akan dinilai secara virtual oleh juri yang merupakan arsitek beken yang mendesain bandara, direktur firma arsitektur, perencana, dan akademisi.
RIE merupakan satu-satunya yang lolos mewakili Indonesia. Mereka harus bertarung dengan lawan tangguh dari Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, dan China.
RIE terdiri dari lima sekawan, Ridwan Arifin, Imaduddin Dhia Ul-Fath, Ervin Dwiratno, Ulfa Nur Fauziah, dan Aji Nugroho.
Ridwan menjelaskan, ide dan inovasi dalam desain baru O'Hare International Airport, berangkat dari visi kota Chicago urbs in orto (kota dalam taman).
Baca juga: Bermain dan Belajar di Microlibrary Warak Kayu, Perpustakaan Mini Semarang
Sejarah kota dan aspek geografi, bandara dengan bentuk lingkaran menyerupai huruf O yang merupakan bentuk geometris efisien untuk transportasi masa depan di Chicago.
Selain itu, O juga merupakan huruf depan pada O’Hare yang merupakan prajurit Angkatan Laut Amerika Serikat pertama yang mendapatkan penghargaan Medal of Honor.
Dia adalah salah satu pahlawan Amerika Serika pada Perang Dunia II yang bernama lengkap Kapten Edward Buch O’Hare.
Untuk mengenang jasanya, Chicago City Council mengabadikan namanya pada bandara ini menjadi O’Hare International Airport.
Menurut Ridwan, konsep peletakan masa bangunan dari rancangan bandara tersebut tidak berada di tanah secara langsung sebagaimana yang ada saat ini.
"Ide besar tersebut memperhatikan aspek visi kota urbs in orto, bagaimana membuat kota lebih ekologis dengan konsep taman," terang Ridwan kepada Kompas.com, Sabtu (19/9/2020).
Dia melanjutkan, area bawah dirancang untuk hutan buatan guna merekayasa iklim mikro kawasan beserta ekosistemnya ditambah sebuah pusat penelitian hutan.
Hal ini karena jumlah lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) sebagai pemasok oksigen kini terus terkikis oleh kebutuhan bangunan, jalan dan infrastruktur lainnya.
"Nah, hutan buatan tersebut untuk mengusahakan agar ekosistem bisa terus terjaga keseimbangannya," imbuh Ridwan.
Baca juga: Gedung KKP Sabet Juara Pertama ASEAN Energy Awards 2019
Skenario urbanisasi yang terus meningkat menjadi pertimbangan mengapa bandara masa depan harus mewadahi pesawat Vertical Take Off and Landing (VTOL).
Di dalam gedung sendiri RIE menggunakan moda transportasi hyperloop untuk mengoneksikan empat zona yang berada di dalam terminal.
Dalam rancangan RIE, bandara bukan sekadar pusat transportasi dengan volume lalu lintas udara sangat tinggi, melainkan juga tempat kerja, pusat perdagangan, rekreatif, dan tempat pertukaran kebudayaan yang merupakan gerbang dunia menuju Amerika.
Dari segi teknis kami mengusung teknologi mutakhir dengan nano tech, kecerdasan buatan, dan energi terbarukan untuk mendukung bumi yang lebih ramah lingkungan.
Secara pribadi, Ridwan menyukai isu publik arsitektur, keberlanjutan, dan teknologi. Sejak mahasiswa tahun ke-3, dia sudah memiliki niat mengikuti kompetisi Fentress Global Challenge.
"Ini adalah kompetisi internasional kedua yang RIE ikuti. Pertama kompetisi internasional di Singapore yang berfokus pada tropical architecture dan sustainability. RIE menjadi yang terbaik," ungkap Ridwan.
Ridwan sendiri merupakan arsitek anggota IAI Jawa Barat. Sementara Erwin Dwiratno baru saja menyelesaikan pendidikannya dan membuka studio pribadi di Yogyakarta.
Demikian halnya dengan Imaduddin Dhia Ul-Fath yang juga membuka studio arsitektur sendiri.
Sedangkan Ulfa Nur Fauziah, kini bekerja sebagai arsitek muda di Bali, dan Aji Nugroho menekuni profesi arsitektur di Batam.
Ridwan optimistis karya RIE mendapat penilaian positif, meski kompetitor sama-sama tangguh dan berat. Terutama Cambridge University dan London College University.
Optimisme serupa juga dia lontarkan untuk dua kategori people choice award karena dinilai dari jumlah like Facebook.
"Saat ini kami ada di posisi ketiga terbanyak setelah tim Kanada dan Malaysia," ucap Ridwan.
Pemenang kompetisi akan diumumkan pada 2 Oktober 2020 mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.