JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) telah diketok palu pada tahun lalu.
Namun, belum ada aturan turunan dari UU tersebut hingga saat ini. Justru, aturan tersebut masuk dalam revisi perubahan di omnibus law RUU Cipta Kerja.
Perlu diketahui, Pemerintah mengajukan revisi sejumlah pasal UU 17/2019 tentang SDA yang tercantum dalam BAB III RUU Cipta Kerja tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Tercatat, ada 30 usulan perubahan UU nomor 17 tahun 2019 yang diajukan Pemerintah yakni, 23 usulan revisi pasal dan penghapusan 7 pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2019.
Pasal yang dihapus adalah, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 16, pasal 17 dan pasal 20.
Ketujuh pasal yang dihapus tersebut berbunyi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pemkab/Pemkot) dapat mengatur dan mengelola SDA.
Baca juga: Basuki Minta Kerja Sama Negara Anggota G-20 Perkuat Pengelolaan SDA
Penghapusan ketujuh pasal tersebut membuat Pemprov dan Pemkab/Pemkot kehilangan kewenangan untuk mengatur dan mengelola SDA.
Sedangkan, sebagian besar usulan revisi bunyi pasal membuat Pemda kehilangan tugas dan kewenangannya dalam penggunaan, pola pengelolaan, rencana pengelolaan, serta pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.
Oleh karena itu, Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa–Bali (SP PJB) yang diwakili Agus Wibawa (Ketua Umum SP PJB) dan Dewanto Wicaksono (Sekretaris Jenderal SP PJB) serta Persatuan Pegawai (PP) PT Indonesia Power yang diwakili PS Kuncoro (Ketua Umum PP Indonesia Power) dan Andy Wijaya (Sekretaris Jenderal PP Indonesia Power) sebagai pemohon mengajukan uji materi (judicial review) UU SDA ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi tersebut terdaftar dalam Perkara Nomor 73/PUU-XVII/2000.
Pemohon mengajukan uji materi Pasal 19 ayat (2), Pasal 58, dan Pasal 59 UU SDA.
Pasal 19 ayat (2) berbunyi "Pengelola Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa unit pelaksana teknis Kementerian/unit pelaksana teknis daerah atau badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air."
Pemohon mempermasalahkan keharusan, pengelola SDA hanya untuk BUMN yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya air.
Baca juga: Padat Karya Tunai SDA Serap 163.003 Tenaga Kerja Total Rp 1,26 Triliun
Padahal, dalam Penjelasan Umum UU SDA menyatakan, “Undang-Undang menyatakan secara tegas bahwa Sumber Daya Air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, negara menjamin hak rakyat atas Air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau.”
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, Nomor 008/PUU-III/2005, dan Nomor 85/PUU-XI/2013, berbunyi “Bahwa air tidak hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara langsung saja. Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pengairan untuk pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri."
Lalu, pemanfaataan sumber daya air tersebut juga mempunyai andil yang penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan menjadi faktor yang penting pula bagi manusia untuk dapat hidup secara layak.
Baca juga: RUU Cipta Kerja, Peran Pemda Mengelola SDA DihilangkanKemudian, ketersediaan akan kebutuhan makanan, kebutuhan energi/ listrik akan dapat dipenuhi, salah satu caranya adalah melalui pemanfaatan sumber daya air.
Sementara, Pasal 58 berbunyi sebagai berikut :
(1) Pengguna Sumber Daya Air tidak dibebani BJPSDA (Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air) jika menggunakan Sumber Daya Air untuk:
a. pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari;
b. pertanian rakyat;
c. kegiatan selain untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat yang bukan merupakan kegiatan usaha; dan
d. kegiatan konstruksi pada Sumber Air yang tidak menggunakan Air.
(2) Pengguna Sumber Daya Air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung BJPSDA.
(3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berhak atas hasil penerimaan BJPSDA yang dipungut dari para pengguna Sumber Daya Air.
(4) BJPSDA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipergunakan untuk keberlanjutan pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang bersangkutan.
Kemudian, pada Pasal 59 berbunyi "Pembayaran BJPSDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 harus memperhatikan prinsip pemanfaat membayar."
Menanggapi hal itu, Direktur Bina Operasi dan Pemeliharaan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lilik Retno Cahyadiningsih mengaku belum menerima laporan gugatan tersebut.
"Sampai dengan saat ini belum ada surat pemberitahuan," kata Lilik kepada Kompas.com, Senin (14/9/2020).
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, UU 17/2019 tentang SDA dinilai parsial dan tidak melihat air sebagai kesatuan ekosistem.
Hal tersebut disampaikan Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana ketika dihubungi terpisah oleh Kompas.com, Senin (14/9/2020).
"Memang catatan terhadap UU Nomor 17/2019 tentang SDA, dia tidak melihat air sebagai satu kesatuan ekosistem sehingga pengelolaannya parsial terbatas, khususnya pada Sumber Penyediaan Air Minum (SPAM). Padahal soal air tidak hanya itu," kata Wahyu.
Oleh karena itu, Walhi meminta agar beberapa aturan UU Nomor 17/2019 tentang SDA tidak mengurangi hak air untuk masyarakat.
Dengan demikian, kata Wahyu, perhatian hak atas air untuk masyarakat serta perlindungan ekosistem lingkungan hidup perlu diperhatikan oleh Pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.