Bagi para pelaku ekonomi, krisis Covid-19 yang memaksa Pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan anjloknya penerimaan usaha.
Dengan demikian, arus kas atau cashflow menjadi negatif dan perusahaan sangat kesulitan untuk mampu membayar semua kewajiban rutin seperti gaji karyawan, biaya operasional, kewajiban kepada bank dan lembaga pembiayaan, maupun kewajiban kepada mitra bisnis dan lain-lain.
Terlebih, tidak semua pelaku usaha mempunyai cadangan dana yang cukup untuk membiayai negative cahsflow .
Adalah menjadi penting untuk memastikan pelaku usaha tetap bertahan dan mempunyai cukup nafas untuk melewati masa sulit ini.
Oleh karena itu, pelaku usaha harus fokus pada dua hal, yakni:
1. Menata kembali semua pengeluaran dan membuat prioritas sesuai kemampuan.
Bila perlu, melakukan restrukturisasi atas kewajiban yang tidak bisa dilakukan tepat waktu karena menurunnya pendapatan. Pelaku usaha harus mampu meyakinkan mitra usaha perihal masa depan yang cerah.
2. Lakukan inovasi dan terobosan untuk bisa sesegera mungkin meningkatkan pendapatan.
Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menjadi panglima dalam pemulihan krisis.
Mereka harus mendukung melalui kebijakan relaksasi di sektor keuangan secara masif dan ekstrim.
Mengguyur pasar dengan likuiditas keuangan berbunga murah bisa membantu kembali berputarnya ekonomi secara cepat.
Demikian halnya dengan relaksasi berbagai kebijakan sektor keuangan harus dipandu OJK secara cepat dan tegas agar tekanan keuangan bisa segera berkurang.
Jika ini bisa dilakukan, tekanan kewajiban terhadap bank dan lembaga pembiayaan akan bergulir bak bola salju (snow ball effect).
Hasilnya, bukan tidak mungkin dapat menurunkan tekanan keuangan pelaku ekonomi secara menyeluruh, mulai dari korporasi besar hingga usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Dengan demikian, bisa mencegah terjadinya gemolbang pemutusan hubungan kerja (PHK), seraya bisnis dan usaha tetap berjalan.